Jumat, 14 Oktober 2011
Rabu, 13 Oktober 2010
PENGARUH NILAI BUDAYA BUGIS
PENGARUH NILAI BUDAYA BUGIS TERHADAP PERILAKU APARAT BIROKRASI DI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN BONE
The Influence of Buginese culture velue toward the behavior of Bureaucracy Apparatus at the Regional Department of General Development in Bone Regency
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
P R A K A T A
Segala puji bagi Allah yang memberikan perlindungan, shalawat dan salam atas Rasulullah S.A.W, kepada sahabat dan ahlul baitnya atas berkatNya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini walau dalam berbagai keterbatasannya sebagai sebuah karya ilmiah.
Penulis tiada henti berjuang, bersabar, melangkah terus maju.
"Passokkui Resomu Musanre ri Totomu Mutajenngi Pammase". (Bulatkan tekad usahamu pasrah kepada takdir menanti karunia), suatu nilai yang memberi spirit penulis hingga terwujudnya tesis ini. Tesis ini mengkaji nilai budaya Bugis dan perilaku aparat birokrasi yang bermaksud menyumbangkan beberapa konsep nilai budaya Bugis (Lempu’, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’), yang berhubungan dengan perilaku (Disiplin, Tepat Waktu, Taat Pada Aturan dan Tanggung Jawab) aparat birokrasi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone..
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya.
Penghargaan termulia, rasa hormat, dan terima kasih tak terhingga atas bimbingan penuh kesabaran, penulis limpahkan kepada Ketua Komisi Penasihat Prof.Dr. H. Mahmud Tang, MA dan Prof.Dr. M. Kausar Bailusy, MA, Kepada Tim Penguji, Prof.Dr. H. A. Pangerang Moenta,SH, MH, Prof.Dr. Suratman, M.Si Dr. H. Rasyid Thaha,M.Si, terima kasih saran dan kritiknya yang sangat berharga bagi penulis. Kepada Civitas Akademik Universitas Hasanuddin, yang telah memberi sumbangsih, dukungan dan motivasi, penulis menghaturkan terima kasih. Terima kasih tak terhingga kepada Pemerintah Kabupaten Bone, dan seluruh informan yang telah meluangkan waktunya untuk penulis.
Ucapan terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada Drs. H. Andi Pahrum Pawi, MTP selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone.
Allah Yarham "H. Andi Bau Toappo Mappanyukki, Datu Appo, Hj. Andi Bau Tenripada Opu Datu, Hj. Andi Bau Tenri Datu Bau, Andi Pawennari Petta Sau", yang telah membimbing penulis dalam budaya Bugis kepada beliau penulis ucapkan terima kasih. Spesial terima kasih pula kepada Habaib Ir. Habib Chalid Al Idrus.
Terakhir diperuntukkan kepada kedua orang tua tercinta yang memberikan dorongan dan doa selama mengikuti pendidikan. Akhirnya segala kekurangan dan kehilafan yang ada mohon dimaafkan, semoga segala sesuatunya mendatangkan manfaat dan kemaslahatan bersama.
Makassar, 3 Nopember 2007
Abdu Samad H. A. Umar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa pemerintahan Raja Bone VII, Latenrirawe BongkangE, kerajaan Bone memiliki luas wilayah kekuasaan yang sangat kecil. Tapi berkat adanya seorang pemikir (penasehat kerajaan Bone) La Mellong To Suwalle Kajao Laliddong, maka kerajaan Bone mengalami perkembangan yang sangat pesat dan kerajaan menjadi makmur, karena La Mellong menerapkan sifat-sifat atau nilai-nilai dasar yaitu Lempu' (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso (usaha,kerja keras), Siri’ (harga diri).
Beberapa abad kemudian kerajaan Bone mengalami masa keemasan yang disebut ”WETTU TEPU KETENNA BONE” pada masa pemerintahan Raja Bone XV (1672-1696), ”Latenri Tatta To Unru’ Daeng Serang Petta MalampeE Gemme’na Petta Torisompae Sultan Saaduddin Arung Palakka Datu Mario ri Wawo, Malebbae Songko’na Arungna Mandurae MatinroE ri Bontoala” bergelar ”RAJA PALACCA DE KONING DER BOUGIES (DATU TUNGKE’NA TANA UGI).
Baginda Arung Palakka memiliki nilai-nilai luhur yaitu Lempu' (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso (usaha), Siri’ (harga diri), sehingga sampai saat ini Kabupaten Bone dikenal sebagai ”BUMI ARUNG PALAKKA”.
Demikian pula nilai Getteng dan Siri' yang dimiliki oleh Haji Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim sebagai Raja Bone XXXII baginda tidak mau bekerjasama dengan Belanda, dan atas prakarsa beliau maka kerajaan Bone bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia.
Perode lontara telah membuka babakan baru dalam hidup politik orang Bugis, terutama dalam memandang pemimpinnya dan mengendalikan kekuasaan. Pada periode itu terdapat kecenderungan bahwa rupa-rupanya orang Bugis menjunjung tinggi kedudukan manusia. Manusia mempunyai arti khusus dalam hubungannya dengan seluruh sikap makhluk. Bawaan hati yang baik, yang menentukan seseorang itu sebagai manusia ialah kejujuran, kebenaran, Siri', kepandaian, Keberanian. (Mattulada,1985:456-457).
Sumber Daya Manusia yang ada di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone, dituntut memiliki produktivitas yang tinggi dan perilaku yang sejalan dengan kode etik aparat birokrasi meskipun sebagian aparat birokrasi masih .keturunan langsung Raja Bone XVI Lapatau Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Matinroe ri Naga Uleng adalah kemenakan Arung Palakka.
Era reformasi mencatat arah menuju local democracy model sesuai semangat yang dikedepankan dalam UU Nomor 22 tahun 1999. UU tersebut telah diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang berusaha mempertemukan semangat efisiensi dan demokrasi, namun semangat local democracy model masih tampak kuat dengan dominannya pengaturan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADAL). Dengan adanya kebijakan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil sehingga aparat birokrasi dituntut untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang tertuang didalam Peraturan Pemerintah yang antara lain disiplin, tepat waktu, taat pada aturan dan tanggung jawab.
Sejalan dengan desentralisasi sebagai instrumen yang mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat yang tergolong majemuk dengan kondisi dan potensi yang beragam pula. Dalam era globalisasi dan reformasi yang terjadi saat ini telah membawa perubahan yang begitu cepat kepada aspek lingkungan dan kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi diantaranya semakin mudahnya masyarakat memperoleh informasi yang mampu meningkatkan kemampuan untuk memilih beberapa alternatif pelayanan publik yang dibutuhkan serta-merta dirasakan penting sehingga kebutuhan masyarakat akan pelayanan sudah menjadi tuntutan umum, kualitas pelayanan berbanding lurus dengan tingkat kepuasan rekanan (konsultan dan kontraktor) sehingga dapat dikatakan adanya nilai-nilai dasar budaya Bugis diharapkan dapat mendorong kualitas pelayanan yang sangat mempengaruhi tingkat kepuasan rekanan.
Dibidang sosial dan budaya, desentralisasi harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada gilirannya dapat memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Budaya organisasi merupakan sumber pengetahuan yang penting mengenai dinamika kepemimpinan transformasional dan proses-proses yang dengannya karisma seorang pemimpin dapat dilembagakan. Pengaruh seorang pemimpin terhadap budaya sebuah organisasi bervariasi, tergantung kepada tahap pengembangan organisasi tersebut. Seorang pemimpin memerlukan pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (competency) untuk memahami budaya dalam organisasi.
Semenjak diberlakukannya Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone membuat organisasi ini semakin ramping dengan adanya perubahan administrasi secara holistik.
Struktur organisasi yang ramping dalam Dinas Pekerjaan Umum semakin kompleks (peranan organisasi pada eselon IV), dilain pihak aparatur dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada swasta (rekanan) khususnya kontraktor dan konsultan.
Penyedia jasa ini turut memberikan andil yang sangat penting dalam bidang pembangunan fisik. Disisi lain pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sejak adanya kebijakan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) Nomor : 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengalami hambatan karena pola administrasinya semakin rumit dan memerlukan akuntabilitas yang handal.
Kebijakan ini membuat kepemimpinan yang ada di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone dituntut mampu mempengaruhi kinerja aparatur, baik itu kegiatan administrasi maupun kegiatan fisik di lapangan sebagai salah satu instansi teknik dalam pengelolaan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan maupun bidang keciptakaryaan dan bidang pengairan.
Kurangnya koordinasi dan informasi antar bidang membuat kinerja aparatur kurang memadai. Rendahnya kinerja aparatur pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone, tidak didukung oleh keterampilan aparatur yang sesuai dengan pendidikannya, sehingga organisasi ini berjalan di tempat.
Kurangnya informasi tentang penjelasan kebijakan baik berupa Petunjuk Pelaksanaan (JUKLAK) maupun Petunjuk Teknis (JUKNIS) menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kinerja aparatur. Dalam kondisi seperti ini, tujuan organisasi untuk menciptakan Sumber Daya Manusia aparatur secara profesional sulit terwujud. Salah satu penyebabnya adalah faktor Budaya yang masih sulit disesuaikan dengan kebijakan tersebut (tidak dijadikan landasan bagi pelaksanakan kebijakan).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Budaya Kerja
1. Pengertian Budaya
Rahim (1985) dalam bukunya ”Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis” mengatakan bahwa peranan budaya Bugis di Sulawesi Selatan dalam bentuk kedirian dan kemandiriannya, dan telah berhasil menampilkan suku Bugis sebagai orang-orang tegar menata, membina serta menambahkan pri kehidupannya, disamping suku-suku lainnya, sebagai bahagian dari bangsa Indonesia. Ungkapan budaya Bugis dipandang dapat menjadi jiwa dan moral pembangunan nasional.
Nilai-nilai utama harus dipandang sebagai nilai-nilai yang utuh dan mempunyai dua sisi, ibarat mata uang; harganya terletak pada dua sisinya. Satu dari padanya hilang tidak berhargalah ia, nilai-nilai utama (Adat) Kejujuran (Lempu’), Kecendekiaan (Acca), Kepatutan (Asitinajang), Keteguhan (Getteng), Usaha (Reso) dan Harga Diri (Siri’). Nilai-nilai tersebut bukan hanya hak kebudayaan tetapi juga kewajiban kebudayaan, baik berlakunya nilai-nilai itu di kalangan orang Bugis khususnya maupun diantara sesama makhluk insannya.
Oleh karena itu, penggalian dan telaah terhadap peninggalan budaya masa silam tetap mempunyai arti. Wujud kebudayaan Bugis yang idealnya, tersimpul dalam apa yang disebut singkeruang (sikap hidup) terjelma dalam berbagai bentuk costum yang dinyatakan dalam konsep-konsep : Lempu’, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’.
Beranjak dari pengertian di atas maka orang Bugis yang mempunyai sejarah dan masyarakatnya tetap wujud dari zaman ke zaman. Pola-pola tingkah lakunya terbentuk secara kumulatif pada zamannya yang lampau. Generasi dibelakangnya memperolehnya sebagai warisan sosial yang dipandangnya sebagai ide-ide tradisionalnya. Ide-ide tradisional ini mengandung sejumlah nilai yang mempengaruhinya ketika membuat keputusan dalam menghadapi situasi tertentu. Nilai-nilai ini merupakan warisan budaya karena dipunyai bersama dan dialihkan bersama. Ia dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya. Ia mengatur kepatutan (Asitinajang) bagi perempuan dan laki-lakinya, bagi anak-anak dan orang tuanya. Siapa yang melanggarnya akan menimbulkan penyesalan bagi dirinya di samping dia direndahkan oleh masyarakatnya bahkan juga oleh keluarganya. Nilai-nilai ini dipelihara oleh mereka sebagai memelihara suatu kehormatan diri yang paling besar yang telah dimuliakan oleh leluhurnya. Oleh karena itu ia adalah nilai-nilai kebudayaan.
Darmawan Mas’ud dalam Kombie,A.S (2003:216) mensinyalir bahwa unsur-unsur ajaran dasar Sawerigading berupa Lempu’, Tongeng, Getteng dan Adele, sama dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Sekitar abad ke-XIV sampai masuknya kekuasaan kolonial Belanda, orang Bugis di Sulawesi Selatan mempunyai kerajaan-kerajaan lokal merdeka yang terkenal, diantaranya ialah Tana-Luwu’, Tana-Bone, Tana-Wajo’, Tana-Soppeng dan Tana-Sidenreng. Kerajaan-kerajaan orang Bugis itu bersama-sama disebut Tana-Ugi’ dalam sejarahnya tak pernah mengalami keadaan sebagai satu negara yang mempersatukan sekalian suku bangsa Bugis dalam satu Pemerintahan. Hubungan persaudaraan atau persahabatan didasarkan atas kesadaran kesatuan etnis yang mereka namakan ”sempugi” selalu dijunjung tinggi (Mattulada,1995:6).
Selanjutnya Mattulada (1995:6) dalam ”Latoa” menegaskan bahwa dalam perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan itu selanjutnya, Tana-Bone dianggap sebagai kerajaan Bugis yang menjadi standard dari pola-pola kehidupan politik-ekonomi dan kebudayaan bagi kerajaan-kerajaan Bugis lainnya. Demikianlah maka sampai sekarang yang dijadikan bahasa Bugis standard, adalah bahasa Bugis To-Bone.
Nilai-nilai utama menurut Toriolo dalam Rahim (1985) bahwa, yang menentukan manusia ialah berfungsi dan berperannya sifat-sifat kemanusiaan, sehingga orang menjadi manusia, dan begitu juga nilai-nilai kebudayaan Bugis. Adapun nilai-nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhan, usaha dan harga diri, sebagai nilai-nilai utama yang akan dibahas disini, harus dilihat dari segi fungsinya. Keutamaannya secara fungsional dalam hubungannya dengan diri sendiri, dengan sesama makhluk, dengan cita-cita, dan dengan Tuhan.
Selanjutnya enam nilai-nilai utama kebudayaan Bugis dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Lempu’ = Jujur (Honesty, Credibility)
Lempu’ : dalam bahasa Indonesia artinya jujur, sama dengan lurus sebagai lawan dari bengkok. Dalam berbagai konteks kata ini berarti ikhlas, benar, baik atau adil. Sehingga lawan katanya adalah culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya, dan semacamnya. Arti ini dapat dipahami ketika ditemukan kata lempu’ dalam ungkapan-ungkapan Bugis atau lontara. Berbagai cara pula lontara menerankan kejujuran itu. Ketika Tociung, cendekiawan Luwu, diminta nasihatnya oleh calon raja (Datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng, beliau menyatakan ada empat perbuatan jujur, yaitu (a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tak curang, artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak menyerakahi yang bukan haknya; (d) dan tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya, baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.
Sejalan dengan pengertian ini Kajao Laliddong, cendekiawan Bone menjelaskan kejujuran ketika ditanya oleh Arumpone mengenai pokok-pangkal keilmuan. Apakah saksinya (sabbi) atau bukti kejujuran (lempu’) ? ’Seruan (obbi’) ya Arumpone!” Apa yang diserukan ya Kajao? ”Adapun yang diserukan adalah : Jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu; jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu, bukan juga pusakamu; jangan mengeluarkan kerbau (dari kandangnya) yang bukan kerbaumu, juga kuda yang bukan kudamu; jangan ambil kayu yang disandarkan, yang bukan engkau menyandarkannya; jangan juga kayu yang sudah ditetak ujung pangkalnya yang bukan engkau menetaknya.
Betapapun dalam kesan nilai kejujuran itu pada diri pribadi La Manussa’ To Akkarangeng. Pada waktu rakyat Soppeng mengajukan kesepakatannya untuk meminta kesediaan beliau menjadi Datu Soppeng, berkali-kali ditolaknya sambil menyatakan supaya mencari orang lain dari padanya. Ketika beliau pada akhirnya menerima, masih pun diminta tempo untuk pergi berguru, mencari bekal keilmuan bagi kepentingan pelaksanaan amanat rakyat Soppeng. Kalau sikapnya itu dikatakan berendah hati namun sikap itu lahir dari nilai kejujuran bercampur dengan keilmuan dan kepatutan. Dia tidak merasa rendah buat menyatakan kekurangannya dihadapan rakyat yang telah meyakini kelebihan dan kemampuannya. Rakyat Soppeng telah mengetahui bahwa syarat untuk seorang Datu di Soppeng telah dimiliki olehnya.
Dipihak lain Raja Bone yang di tangannya tergenggam kekuatan besar di antara para raja Bugis lainnya, bersedia menerima nasihat, sedangkan pembantunya, Kajao, tanpa ragu-ragu memberikan pula nasihatnya. Mungkinkah pula ini tidak atas dasar kejujuran? Apabila tanaman dan kerbau dapat dimisalkan sebagai sumber makanan; kuda sebagai alat buat menyelenggarakan penghidupan, apakah ini tidak menunjukkan bahwa kejujuran itu bermakna pula menghormati hak-hak bagi pemiliknya? Biarpun empunya tidak mengawal miliknya, tetapi telah diketahui bahwa sesuatu kayu sudah tersandar dan sudah terletak, iapun harus diberlakukan secara jujur sebagai tanda berlaku jujur menghormati hak yang empunya.
Dilain pihak seorang anak di Sidenreng yang melanggar nilai kejujuran harus menerima hukuman mati sebagai imbalannya. Hukuman mati itu dijatuhkan oleh si ayah sendiri sebagai hakim di negeri itu, Si ayah inilah yang bernama La Pagala Nenek Mallomo (1546-1645) yang lahir di Panrenge di sebelah utara Amparita. Jikalau orang harus merasa segan atau takut maka perasaan itu hanya patut diberikan kepada orang jujur. Memang pada mulanya kejujuran itu diatasi oleh kecurangan namun akhirnya yang menentukan kejujuran juga, ”kata La Tiringeng To Taba Arung Saotanre Raja cendekiawan Wajo di abad XV (Rahim, 185:145-152).
Demikian juga yang dapat memberikan harapan hidup yang panjang, memanjangkan usia, (Lamperi sunge’) adalah dengan mengembangkan perilaku yang memelihara kejujuran (lempu’), dengan membuktikan perbuatan yang : memaafkan orang yang bersalah padanya, tidak culas bila diberi kepercayaan, tidak serakah terhadap yang bukan haknya, dan tidak mencari kebaikan bila hanya dia yang menikmatinya (Ibrahim,2003:89).
Nilai-nilai dasar , Lempu’, Adatongeng, Getteng menjadi sumber Ammaccang (kepandaian). Nilai kejujuran mempunyai posisi sentral. Kepandaian yang tidak bersumber atau tidak disertai kejujuran, tidak akan menopang pemeliharaan ’induk kekayaan’ negara dan rakyat. Kejujuran harus diserukan, didakwahkan. Kalau sumber kepandaian adalah kejujuran, maka saksinya (sabbi) menurut Kajao Laliddong adalah perbuatan (Gau’) (Ibrahim,2003:24).
Berkata juga La Waniaga Arung Bila, terdapat empat macam permata bercahaya, yaitu ”lempu’”, kejujuran; ”adatongeng”, kata-kata benar beserta ketetapan hati; ”Siri’” beserta keteguhan pada prinsip; dan akal pikiran disertai kebaikan hati.
Adapun yang menutupi kejujuran adalah kesewenang-wenangan, yang menutupi kata-kata benar adalah kedustaan, yang menutupi ”siri” adalah ketamakan, dan yang menutupi akal-pikiran adalah kemarahan. Pada hakikatnya, apa yang dikemukakan Arung Bila merupakan penjabaran kreatif dari nilai-nilai yang telah dikemukakan Kajao Laliddong (Ibrahim,2003:88).
Acca = Kepandaian (Proficiency, Intelectual)
Acca : dalam bahasa Indonesia berarti kepandaian atau kepintaran dapat dipahami, baik dalam arti positif maupun negatif. Padahal acca bukan pandai atau pintar tetapi cendekia atau intelek, (cendekia dari Sangsekerta, kearifan dari bahasa Arab). Lontara juga menggunakan kata nawa-nawa yang berarti sama dengan acca.
Jadi orang mempunyai nilai acca atau nawanawa oleh lontara disebut Toacca, Tokenawanawa atau Pannawanawa, yang dapat diterjemahkan menjadi cendekiawan, intelektual, ahli pikir atau ahli hikmah arif. Pengertian ini masih perlu dijelaskan guna membantu kita memahami nilai kecendekiaan yang dikemukakan oleh lontara. (Rahim,1985).
Di dalam konsep nilai kecendekiaan terkandung, disamping nilai kejujuran, juga nilai kebenaran, kepatutan, keikhlasan, dan semangat penyiasatan atau penelitian. Tociung menyebutkan bahwa cendekiawan (toakenawanawa) mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Petta Matinroe ri Lariangbanngi (bangsawan tinggi Bone) menerangkan pula bahwa yang disebut pannawanawa (cendekiawan) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapinya demikian juga perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan (Rahim,1985).
2. Asitinajang = Kepatutan (Proper)
Asitinajang : dalam bahasa Indonesia Artinya Kepatutan, kepantasan, kelayakan, kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Lontara mengatakan : ”Duduki kedudukanmu, tempati tempatmu. Ade’ wari’ (adat pembedaan) pada hakikatnya mengatur agar segala sesuatu berada pada tempatnya.
Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja. Nilai kepatutan ini erat hubungannya dengan nilai kemampuan (makamaka) jasmaniah dan ruhaniah. Penyerahan atau penerimaan sesuatu, apakah itu amanat atau tugas, haruslah didasarkan atas kepatutan dan kemampuan. Makamaka lebih banyak menekankan penampilan bagi pemangku tanggung jawab.
Lataddampare Puang ri Maggalatung (cucu raja Palakka) (1498-1528) pernah berkali-kali menolak tawaran Adat dan rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo ke-3 La Patenddungi To Samallangi’ bukan karena beliau tak mampu memangku jabatan itu. Rakyat dan Adat Wajo yakin akan kebolehan beliau. Tetapi yang menjadikan beliau tidak menerima tawaran tersebut adalah nilai kepatutan dalam dugaan atau persangkaan orang terhadapnya. Pada waktu Batara Wajo ke-3 memerintah sewenang-wenang, dan tidak seorangpun berani tampil menahan, ketika itu Puang ri Maggalatung diminta bantuannya, dan memang beliau pun mampu melaksankannya. Memang wajar beliau menerimanya, sebab baik membunuh raja yang zalim maupun tawaran untuk dirajakan sama-sama kehendak adat dan rakyat Wajo. Nilai kepatutan yang berperan di dalam diri Lataddampare’ Puang ri Maggalatung, mengingatkan kita kepada penerapan petaruh yang diwariskan oleh leluhur Bugis (Rahim,1985:157-159).
Pemikiran Tociung MaccaE ri Luwu, tidak hanya berkembang dan mempedomani kehidupan sosial politik dan budaya di kerajaan Luwu, melainkan menembus ’jauh’, antara lain ke kerajaan Soppeng, dipelajari dan dikaji, terutama oleh raja dan kaum bangsawannya. Datu Soppeng La Baso’ Manussa To Akkarangeng, secara khusus melakukan perjalanan dari Soppeng berkunjung ke tempat kediaman MaccaE ri Luwu. Dalam mengemukakan pandangan-pandangannya yang disampaikan dengan cara berdialog dengan Labaso’ To Akkarangeng, MaccaE ri Luwu tampaknya lebih banyak membuat penguraian-penguraian. Sifat moralistik-religius, yang tercermin dalam pemikirannya menandai pemahaman dan pendalamannya mengenai ilmu pappejeppu, ilmu ma’rifat Bugis. MaccaE ri Luwu menjawab pertanyaan Datu Soppeng To Akkarangeng bahwa yang dapat memperluas jaringan kekerabatan dan merimbunkan pepohonan (palorong welareng, paddaung raukkaju) adalah dengan mempraktekkan perilaku yang menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya secara proporsional (Asitinajang).
Surat Al Qashash (28) ayat 26
إنﺧﻴﺭﻤﻥاستأاجرت لقوياﻻﻤﻱﻦ
Artinya: Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat di percaya.
Maksud dari ayat ini adalah tempatkanlah seseorang sesuai dengan keahliannya pada bidangnya (The right man on the right place).
3. Getteng = Keteguhan (Firm)
Getteng dalam bahasa Indonesia artinya teguh, kata inipun berarti tetap-asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Sama halnya dengan nilai kejujuran, nilai kecendekiaan dan nilai kepatutan, nilai keteguhan ini terikat pada makna yang positif. Ini dinyatakan oleh To Ciung Maccae ri Luwu bahwa empat perbuatan nilai keteguhan (a) Tak mengingkari janji, (b) tak mengkhianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah kesepakatan, dan (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung (Rahim,1985). La Tenriruwa Sultan Adam Matinrioe ri Bantaeng (kakek Latenri Tatta Arung Palakka) hanya tiga bulan menduduki takhta kerajaan Bone (1611). Beliau raja Bone (Mangkau’) pertama yang memeluk agama Islam, maka ramailah raja-raja Bugis lainnya dan diikuti oleh masing-masing rakyatnya memeluk Islam. Yang menyampaikan da’wah Islamiah ini ialah kerajaan Gowa di bawah rajanya I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papambatuna (1605-1653) beliau adalah ayahanda dari ”I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’ Pakanna” yang telah lebih dahulu menerima Islam. Raja Bone La Tenriruwa Sultan Adam menerima Islam yang disampaikan kepadanya oleh I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid.
Dalam perjanjian persahabatan negara-negara Bugis-Makassar yang masih tetap diakui bersama, antara lain ditetapkan : ”bahwa barangsiapa yang lebih dahulu menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka berjanjilah siapa-siapa yang menemukan kebajikan itu lebih dahulu supaya memberitahukannya kepada raja-raja lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar penerimaaan Raja Bone dan raja-raja Bugis lainnya. Akan tetapi setelah beliau mengumumkan keislamannya ternyata rakyat Bone menolak seruan beliau. Ini terjadi pada waktu baru saja tiga bulan beliau bertakhta. Atas penolakan ini, beliau melepaskan kedudukannya, lalu pergi ke Pattiro, di negeri mana beliau dahulu sebagai Arung yang memerintah (Arung Pattiro). Rakyat di sini pun menolak dakhwah Islamiah yang disampaikan beliau, kemudian beliau berangkat ke Tallo, Gowa; dan dari sini beliau ke Bantaeng untuk berdiam disitu. Di sinilah beliau mangkat, sehingga beliau disebut Matinroe ri Bantaeng (Rahim,1985:163).
Sedangkan untuk mengembangkan (jumlah) manusia dan membiakkan ternak (pasawe tau, pabbija olok-olok) diperlukan pemeliharaan perilaku yang menunjukkan nilai keteguhan dan ketegasan dalam prinsip yang benar (getteng), dengan bukti perbuatan : tidak mengingkari janji, tidak menghianati ikrar (komitmen) antar-kerajaan, tidak merusak ketetapan terdahulu, tidak mengubah kemufakatan, dan menyelesaikan dengan tuntas bila mengadili perkara (Ibrahim,2003:89).
4. Reso = Usaha ( Acceptable )
Reso : dalam bahasa Indonesia artinya usaha merupakan nilai kunci bagi pelaksanaan nilai-nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan dan keteguhan. Barulah nilai-nilai ini berperanan secara bertepat guna dan berdaya guna apabila didukung oleh nilai usaha. Dengan sendirinya nilai usaha inipun tegak di atas landasan nilai-nilai tersebut. Demikianlah nilai kejujuran yang berperanan di dalam diri To Akkarangeng Datu Soppeng dan La Pagala Nenek Mallomo; nilai kecendekiaan di dalam diri To Suwalle Kajao Laliddong, dan lain-lain; nilai kepatutan dalam diri La Taddampare’ Puang ri Maggalatung, dan lain-lain; dan nilai keteguhan di dalam diri beberapa mangkau’ (Arumpone), sebagaimana yang telah dikemukakan diatas.
Empat hal yang disuruh perhatikan oleh lontara bagi pengusaha atau peniaga : kejujuran karena menimbulkan kepercayaan; pergaulan, karena akan mengembangkan usaha; keilmuan, karena akan memperbaiki pengelolaan dan ketata-laksanaan; dan modal karena inilah yang ikut menggerakkan usaha (Rahim, 1985:165-166).
Nilai budaya Bugis lain yang disebut Reso (kerja keras,usaha) dilihat dari beberapa ungkapan, serta pandangan pakar menyangkut hal ini. Reso dalam bahasa Bugis biasa dipadankan dengan kata kerja atau kerja keras (usaha) dalam bahasa Indonesia.
Dalam kaitan dengan aktivitas manusia Bugis yang terkait dengan Reso sebagai manifestasi budaya dalam kehidupan manusia Bugis, sekaligus sebagai inti dari semua itu.
Reso merupakan salah satu dari enam nilai utama kebudayaan Bugis, sekaligus sebagai inti dari semua itu. Manusia Bugis memandang Reso sebagai simbol kehidupan, mungkin nilai utama lainnya bisa diabaikan tetapi kehidupan tetap berlangsung; tetapi meniadakan Reso sama artinya dengan mengabaikan kehidupan itu sendiri. Manusia Bugis pada masa lampau dapat dipandang memiliki penghargaan yang tinggi terhadap waktu dalam kaitan dengan usaha atau kerja keras (Reso). Sebagai indikasi ke arah itu sesuai catatan Lataddampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa Wajo (Cucu Arung Palakka) seperti berikut ini : ”Ee kalaki de’ga gare pallaonmu muonro ri sere lalennge? ianaritu riaseng kedo matuna, gau’ temmakketuju, de’kua de’gaga pallaonmu, laoko ri barugae mengkalinga bicara ade iarega laoko ri pasa’e mengkalinga ada pabbalu”, mapatoko sia kalaki! Nasaba’ "resopa namatinulu’ natemmanginngi’ namalomo naletei pammase dewata”.
”Hai anakku! Apakah sudah tak ada lagi pekerjaanmu, lalu kamu bermain-main saja. Itulah yang dinamakan perbuatan hina dan perbuatan yang tak ada gunanya. Jikalau tidak ada pekerjaanmu, pergilah ke balairung mendengar soal adat, ataukah engkau ke pasar mendengar warkah penjual. Rajinlah berusaha, hai anakku, sebab hanya dengan jerih payah dan ketekunan serta ketatbosanan yang dilimpahi rahmat dewata (Rahim,1985:165-168).
Pentingnya generasi muda bekerja keras mencari nafkah sebagai bekal menghadapi masa depan; tetapi kerja keras dalam mencari nafkah saja tidak cukup disamping itu harus mencari ilmu dari orang lain; baik yang berhubungan dengan pengetahuan umum (dibalairung) maupun pengetahuan praktis (di pasar). Dalam berusaha mereka dianjurkan melakukan semua itu dalam ketekunan, hanya dengan ketekunan cita-cita dapat diwujudkan (Tang R,2007:3).
Reso (usaha,kerja keras) sebagai roh dalam kehidupan manusia Bugis merupakan manifestasi dari sikap dan perilaku yang terbentuk atas pengaruh kuat dari aspek mental kebudayaannya, yang masih terpelihara dalam bentuk ungkapan. Reso telah membawa sebagian manusia Bugis meraih kehidupan gemilang sepanjang kompetisi yang dilaluinya. Dan sebagian lagi bernasib buruk seiring melemahnya etos kerja mereka, mereka kehilangan identitas kebugisannya sebagai akibat dari pemahaman keliru terhadap makna reso dalam kebudayaan.
Reso adalah sebuah keharusan untuk di jalani, namun rambu-rambu dalam perjalanan itu tidak boleh diabaikan demi menghindari bencana (Tang,R,2007:3-4).
5. Siri’ = Harga Diri (Amour Propre, Exalted)
Siri’ : dalam bahasa Indonesia artinya malu yang merupakan adat kebiasaan yang melembaga dan masih besar pengaruhnya dalam budaya kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Masalah siri selalu menarik perhatian mereka yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan Bugis. Matthes dalam (Mattulada,1995:61) dalam kamusnya, menjabarkan siri’ itu dengan malu, schande, beschaamd, schroomvalig, verlegen, schaamte dan eergevoel. Diakui beliau, bahwa penjabaran baik dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Belanda, tidak menangkap maknanya secara tepat benar (Matthes,1872 a : 583).
C.H. Salam basjah dan Sappena Mustaring dalam (Mattulada,1985) memberikan batasan atas kata siri’ dengan memberikan tiga golongan pengertian yaitu :
(1) Siri’ itu sama artinya dengan malu;
(2) Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukum menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan;
(3) Siri’ itu sebagai daya pendorong yang juga bisa ditujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu pekerjaan atau usaha.
Menurut Casutto, siri’ merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat. Demikian pula M. Nazir Said, menetapakan batasannya bahwa siri’ itu adalah perasaan malu ( krengking / beledeging ) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga/famili/verwantengroep, yang dilanggar norma adatnya (Mattulada,1995:62).
Apabila siri’ raja (pemerintah) harus dibentengi oleh rakyat, maka siri’ rakyatpun harus dihormati oleh raja. Satu terhadap lainnya harus saling memelihara dan menghormati untuk mencegah timbulnya perbuatan atau tindakan yang memalukan (Siakkasiriseng). Pengertian-pengertian siri’ yang telah dicoba diangkat dari beberapa ungkapan lontara sendiri, menunjukkan bahwa siri’ tidak lain dari suatu akibat. Bukankah baru timbul perasaan malu (siri’) jika salah satu dari nilai-nilai utama yang dianut oleh kemanusiaan dalam keadaan terlanggar. Seseorang bukan saja timbul perasaan malunya disebabkan dia diperlakukan tidak jujur, dia dipandang enteng tidak diperhitungkan, dia diberi sikap tak patut, tetapi sebaliknya perasaan malu (siri’) inipun harus timbul pada diri orang yang berbuat curang, khianat, zalim; pada diri orang yang merasa senang dalam kebodohan dan kejahilannya; pada diri orang yang tidak berbuat patut; pada diri orang yang tidak teguh memegang adat dan panngadereng, dan pada diri orang yang suka bermalas-malas menyianyiakan waktunya, sampai ditimpa kemiskinan dan kemelaratan sebab kosong dirinya dari nilai semangat usaha (Rahim,1985:174).
Matthes (dalam Mattulada,1995) menjelaskan nilai budaya Bugis lain yaitu Siri’ Menurut paseng ”utettong ri-ade’e, najagainnami siri’ku” (saya taat kepada ade’ hanya karena di jaga siri’ saya). Hakekat Siri’, hendaknya dilihat dari segi aspek nilai dari panngadereng sebagai wujud kebudayaan yang menyangkut martabat dan harga diri manusia dalam lingkungan hidup kemasyarakatan. Nilai-nilai panngadereng yang amat dijunjung tinggi orang Bugis, yang dapat membawa kepada peristiwa Siri’ dapat disimpulkan pada hal-hal yang tersebut dibawah ini :
Sangat memuliakan hal-hal yang menyangkut soal-soal kepercayaan (keagamaan);
Sangat setia memegang amanat (paseng) atau janji (ulu-ada), yang telah dibuatnya;
Sangat setia kepada persahabatan;
Sangat mudah melibatkan diri kepada persoalan orang lain;
Sangat memelihara akan ketertiban adat kawin-mawin (Wari).
Siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibat konkritnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Siri’ masih mempunyai arti yang essensial untuk dipahami, karena terdapatnya anggapan bahwa bagi orang Bugis ia masih tetap merupakan sesuatu yang lekat kepada martabat kehadirannya sebagai manusia pribadi atau sebagai warga dari suatu persekutuan. Orang Bugis menghayati Siri’ itu sebagai panggilan yang mendalam dalam diri pribadinya, untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya, mempunyai arti yang essensial, baik bagi diri maupun bagi persekutuannya.
De Vreye (1994) dalam Sugiyanto (2001:40) mengarahkan pengembangan strategis kebaikan, diperlukan aktivitas perbaikan secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan yang disebut ”service model” yaitu :
Harga Diri = Siri’ (Self-Esteen)
Pelayanan bukan berarti ”tunduk”;
Dinilai dari kepemimpinan-keteladanan;
Menempatkan seseorang menurut keahliannya;
Menetapkan tugas pelayanan yang futuris;
Berpedoman pada kesuksesan hari esok lebih baik dari hari ini.
Dari uraian diatas, maka penulis mengambil unsur-unsur nilai-nilai utama budaya Bugis yang terdiri dari : 1) Lempu’, 2) Acca, 3) Asitinajang, 4) Getteng, 5) Reso, 6) Siri’ sebagai variabel nilai budaya Bugis pada penelitian ini.
TINJAUAN LOKASI PENELITIAN
A.Keadaan Wilayah
1. Keadaan Geografi
Kabupaten Bone terletak di pesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis dengan luas wilayah 4.559 km2 atau 7,30 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dan terletak pada posisi 4° 13’ – 50° 6’ Lintang Selatan dan antara 114° 42’ - 120° 30’ Bujur Timur.
2. Batas-batas wilayah
· Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng;
· Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa;
· Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone;
· Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros, Pangkep, dan Barru.
Kabupaten Bone berjarak ±174 Km ke sebelah Timur ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar). Bergerak ke sebelah Selatan berbatasan dengan ibukota Kabupaten Sinjai yang berjarak 78 Km dan bergerak ke arah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng yang berjarak 70 Km. Kabupaten Bone terdiri dari 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 Kelurahan.
A. Kondisi Kerajaan Bone Di Masa Lalu
Kerajaan Bone didirikan oleh To ManurungE ri Matajang (MatasilompoE) pada ± (1330-1362), kemudian digantikan oleh anaknya La Ummasa Petta Panre BessiE (Petta Mulaiye Panreng) (1362-1424) sebagai Raja Bone ke-II. Putra beliau tidak dapat mewarisi pemerintahan ini karena isterinya bukan dari kalangan bangsawan, beliau mempunyai 2 (dua) orang putra bernama To Suwalle (Kajao Ciung) Tomarilaleng Pertama di kerajaan Bone dan To Salawakka (Kajao Araseng) Makkedang Tana Pertama di kerajaan Bone, bertindak sebagai juru bicara kerajaan pada masa pemerintahan sepupunya Raja Bone ke-III ”La Saliyu Kerampeluwa” yang memerintah selama 72 tahun (1424-1496). Baginda di gantikan putrinya sebagai Raja Bone ke-IV ” I Benrigau Makkaleppie Dammarowa MallajangE ri Cina (1496-1516), di saat yang sama lahirlah seorang pemikir ulung, negarawan (Bone sebagai Negara pada waktu itu) dan cerdik pandai bernama Lamellong To Suwalle Kajao Laliddong tau tongennge ri gau’na.
Menurut Kepala Desa Kajaolaliddong Yusuf, bahwa :
”Lamellong pada masa kecil suka menggembala kerbau, rumah Lamellong terletak di desa Kampubbu sekitar 1 (satu) kilometer dari dusun Laliddong, Lamellong setiap harinya berkeliaran (Makkaja) di Laliddong, sebagai tempat menggembala kerbau setiap hari ia membawa nasi dari rumahnya dan siang harinya makan nasi sebagai bekalnya dengan keong (bahasa bugis = bojo), begitulah setiap harinya ia bekerja tanpa terasa lelah dan sangat sabar. Pada suatu hari Lamellong di cari oleh utusan raja (Suro) menanyakan kepada Lamellong apakah anda mengenal nama Lamellong, kemudian Lamellong berkata ” De’ gaga lame ellonna”. Akhirnya Suro (duta) kerajaan Bone itu mengikuti Lamellong ke rumahnya sehigga mereka bercerita panjang lebar dan hari hampir gelap, Suro tersebut minta izin pamit pada Lamellong, akan tetapi jawab Lamellong ”Muni pi manu’ bunge nappa ki lisu”, akhirnya Suro bermalam dan pada tengah malam tiba-tiba ayamnya Lamellong berbunyi ”Kukkuruyuk”, itu pertanda bahwa menurut suro itu adalah waktunya untuk kembali ke kerajaan tiba saatnya, namun Lamellong katakan bahwa sebenarnya bukan itu yang dimaksud dan akhirnya utusan raja tersebut bermalam hingga beberapa hari lamanya, dan pada suatu saat ayam Lamellong yang sementara mengeram telah menetas dan inilah dinamakan ”Muni manu’ bunge”, barulah Suro itu mengerti apa yang dimaksud oleh Lamellong, kejadian ini merupakan pertanda bahwa Lamellong adalah orang yang cerdas dan cerdik merangkaikan kata-kata dan pada saat yang sama mereka berdua ke Istana Arung Pone” (Wawancara, 25 Agustus 2007).
Lamellong adalah seorang yang tidak diketahui asal usulnya sampai hari ini karena keberadaannya secara misterius, seperti ditegaskan oleh Cucu Arung Laliddong Petta Winru :
”Lamellong adalah sosok yang sangat sakti karena memiliki sifat-sifat kejujuran, kepandaian (kecendekiaan), kepatutan, keteguhan, usaha/etos kerja dan siri’ (harga diri). Ia adalah kekasih Allah (Waliyullah, tau di amasei puang Allah Taala), karena nilai dasar ini dimiliki dan diamalkan Lamellong baik itu terhadap diri sendiri, sesama manusia maupun kepada Tuhan. Ia mempunyai kelebihan yang bisa menghilang, mampu berjalan cepat meskipun perjalanannya sangat jauh, peninggalan Lamellong adalah tongkatnya dari pohon ”nyelle” yang di tancapkan pada suatu saat setelah kembali dari tanah Bone (Istana Arung Pone) menuju Laliddong, Lamellong sempat beristirahat karena letih ia berjalan dari istana, setelah beristirahat sejenak memulihkan kondisi tubuhnya, maka dengan sangat refleks Lamellong menancapkan tongkat tersebut ke tanah sambil meninggalkan tempat itu berjalan menuju Kampubbu. Pohon yang telah ditancapkan tumbuh subur sampai saat ini , konon kabarnya menurut rakyat di Desa Kajaolaliddong bahwa pohon ”Nyelle” itu merupakan obat segala penyakit yang dipercaya turun temurun. Bahkan ada yang ingin menebangnya dengan memakai senso dan buldozer tapi sampai saat ini senso dan buldozer tersebut akan macet dengan sendirinya jika niat itu ingin dilaksanakan, Lamellong meninggalkan sesuatu yang sangat berharga dan bertuah, bahkan pohon tersebut dihuni oleh elang putih. Daerah Lamelllong di mulai dari Pajekko, Bakke, padang loang hingga Katumpi. Lamellong mengatakan daerah saya dihuni oleh ”Manu’ Pute Innong kinnong” yang berarti hati yang suci (hati nurani) dan biar sedikit asalkan tanah itu miliknya itulah prinsip Lamellong sebagai orang yang senantiasa memiliki 6 (enam) nilai dasar yakni Lempu, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’ (na bolai maneng ri watakkalena). Ini setiap hari diterapkan oleh Lamellong sebagai pabbicara na Mangkau’E” makanya kerajaan Bone memperluas kerajaannya berkat jasanya Lamellong.. (Wawancara, 26 Agustus 2007).
Disisi lain Sekretaris Lembaga Adat Kabupaten Bone Petta Ile mengemukakan :
”Sejak dulu sebelum Islam memang sudah termasuk modal utama bagi suku Bugis Makassar pada khususnya yang dikatakan sebagai pappaseng, pappaseng toriolo (pesan orang tua kita) mengandung sebuah makna, ada yang dikatakan pangaja sudah ada pappaseng, pappaseng sebelum terjadi memang sudah dipesan, sedangkan pappangaja nanti sudah ada kejadian baru di nasehati, jadi berbeda antara pesan dan nasehat. Orang tua kita dulu sebelum terjadi pada masyarakatnya memang sudah dipesankan. Manusia mempunyai adat (panngadereng) sehingga ia menggunakan karya, karsa, dan usahanya sehingga dapat meningkatkan budayanya. Seperti Raja Bone bertanya kepada penasehatnya ”Kajao Laliddong” yaitu ”tega allebbirenna rupa tauE?” , maka di jawab oleh Kajao Laliddong terhadap Arung Pone bahwa allebbirenna rupa tauE adalah panngadereng. Arung Pone bertanya lagi yang mana dikatakan panngadereng Kajao?, maka jawab Kajao hanya 4 (empat) pokok utamanya, tapi setelah agama Islam masuk di Kerajaan Bone menjadi lima yaitu tau missengenngi : Ada (Ade), Bicara (keputusan peradilan), Wari (batas keturunan), Rapang (Hukum-hukum yang berlaku dari dulu sampai sekarang yang sangat baik) kemudian menjadi panngadereng. Dan setelah agama islam masuk di Kerajaan Bone (1611) yaitu Sara’ (syariat Islam). Disegi pemerintahan bahwa ”dena wedding mapparenta kodei na malampu” De to nulle mapparenta kode na macca, tidak akan berarti lempu’ dan acca apabila pemerintah tidak berani mengambil keputusan.
Jadi pemimpin itu harus berani mengambil resiko, jika tidak Lempu’ dan Accana tidak berarti apa-apa. Jadi harus jujur, magetteng pi (teguh dalam pendirian), ada tongeng (satu kata dengan perbuatan), sipakatau (saling menghormat). Yanaritu awarinengE nasibawai Siri’. Na mo Korupsi manyameng na sedding, pa degaga siri’na. Yang penting dijanji malahan dibohongi (karena tidak ada perasaan malu). Siri’ itu berada pada tiga tempatnya yaitu masiri’ ki ri aleta (diri sendiri), masiri’ ki ri padatta rupa tau (orang lain), masiriki’ na mitau tokki ri dewata seuae (Tuhan Yang Maha Esa).
Harus dipahami makna siri’, jika kita mengeluarkan kata-kata atau perbuatan yang tidak di tepati. Nilai-nilai panngadereng inilah yang harus dilestarikan adalah salah satu jalan yang terbaik. Kalau tidak digali karena nanti bernilai setelah kita amalkan. Yang jelasnya harus diterapkan pada kehidupan sehari-hari barulah nilai-nilai itu berharga.
Ungkapan ”Resopa temmanginngi namalomo naletei pammase dewata” atau ungkapan lain ” Passokku resomu usanre ri totomu utajenngi pammase”.
Toto’E sama dengan makkareso, iyaro resoe sanrei ko di pammase, makanya seluruh pekerjaan kita dipasrahkan kepa Tuhan Yang Maha Esa itulah sandaran kita. Jadi kunci panngadereng tidak akan berarti jika nilai Siri’ (Harga Diri) dan awaraningenna tau mapparentae (keberanian dari pemerintah) dan menjadi pelayan masyarakat (memperhatikan masyarakatnya) sehingga kelima aspek tersebut dapat ditegakkan, jadi begitu tingginya nilai budaya Bugis”.
Lamellong mendampingi Raja Bone ke-VI (1543-1568) ”La Uliyo Bote’E Matinroe ri Itterung” dan Raja Bone ke-VII (1568-1584) ”La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucina”. Nilai dasar yang digunakan pada masa itu diterima oleh Sara’ (syariat) pada waktu masuknya agama islam di tana-Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-XI ” La Tenri Ruwa Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng (1611-1612). Ajaran Islam sejalan dengan nilai dasar budaya Bugis yang diamalkan oleh Kajao Laliddong. Sebagaimana disampaikan oleh seorang cendekiawan, ulama, akademisi tana-Bone, Mujahid adalah sebagai berikut :
” Dalam kaitannya dengannya persoalan agama, disiplin itu dapat dilihat dari nas-nas alqur’an maupun nas-nas hadits disamping secara kontekstual, di dalam pelaksanaan ibadah ritual itu ada pembelajaran yang dimulai dengan nas yang menyebutkan tentang disiplin itu, di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada 6 (enam) hal yang lebih baik dimiliki oleh manusia : yang pertama kedisiplinan terhadap para umara itu adalah pada persoalan keadilan, yang kedua disiplin bagi ulama itu adalah wara’ yang diartikan dengan kehati-hatian, disiplin bagi orang kaya itu kedermawanan (makacua), disiplin bagi orang-orang miskin itu adalah sabar,disiplin bagi pemuda (anak muda) adalah tobat, disiplin bagi wanita itu rasa malu, penekanan-penekanan kedisiplinan disegmen masyarakat sudah di patok seperti diatas. Disiplin itu berkaitan dengan ketepatan waktu, disiplin lebih luas artinya dari ketepatan waktu. Berkaitan dengan pengamalan suatu ibadah (kerja) tidak serampangan tapi harus disiplin. Persoalan tepat waktu harus ada komitmen yang dilandasi dengan kesabaran, ada semacam keteguhan (konsistensi) dalam melaksanakan suatu tugas. Kemudian ketaatan kepada aturan baik secara norma budaya maupun norma agama, ketaatan kepada aturan cukup diperhatikan oleh agama misalnya salah diambil contoh adalah taat kepada hukum, Nabi pernah mengatakan seandainya Fatima putri Muhammad mencuri akan kupotong tangannya, beliau mensabdakan ini karena adanya sekelompok masyarakat Mekkah menghadap kepada Nabi untuk meminta semacam pengampunan terhadap seorang wanita, yang konon wanita itu adalah tokoh di masyarakat itu tapi dia mencuri, sekalipun dia mencuri maka harus dipotong tangannya, begitu ketaatan pada aturan. Inilah merupakan penekanan dari Nabi bahwa rusaknya umat terdahulu karena ketika orang-orang kuatnya mencuri dibiarkan saja, ketika orang-orang lemahnya mencuri itu dikenakan sanksi (aturan itu di jalankan). Kemudian tanggung jawab seseorang menurut agama yaitu tanggung jawab secara vertikal, tanggung jawab secara pribadi dan tanggung jawab secara sosial. Keterkaitan tanggung jawab dengan lingkungan sangat mempengaruhi seseorang dengan masyarakat disekitarnya”. (Wawancara, Tanggal 27 Agustus 2007).
Selanjutnya nilai-nilai dasar dikemukakan oleh Mujahid :
”Lempu’ atau kejujuran sangat di tekankan karena kejujuran membawa kita kepada kebaikan, orang yang tidak jujur dianggap berkhianat, sesungguhnya kebaikan itu membawa kita kesurga, sesungguhnya dusta itu membawa kita kepada kerusakan, Kemudian Acca (kepandaian) di dalam alqur’an bahwa Allah SWT mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan, Posisi orang pintar berada pada posisi ketiga setelah Allah, Malaikat kemudian orang pintar. Bahwa benar-benar orang pintar itu sangat di hargai posisinya oleh agama. Kemudian Asitinajang (Kepatutan) dalam hadits yaitu apabila suatu masalah yang diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (patut), maka akan menimbulkan kerusakan, Kemudian Getteng (keteguhan) atau kesabaran yang banyak ayat alqur’an yang berkaitan dengan kesabaran. Misalnya Tuhan minta tolong kepada kita tentang kesabaran dan shalat. Di ayat lain mengatakan siapa yang teguh (Magetteng) bersabar akan memperoleh pertolongan. Seseorang yang berhasil karena keteguhan, dan keteguhan itu menjadi modal emosional (mental) kita dalam melaksanakan suatu kegiatan. Kemudian Reso (Usaha/Etos Kerja) bahwa bekerjalah kalian niscaya Allah beserta Rasulnya menilai kerja kita. Ada seorang pakar mengatakan bahwa kita harus mengikuti pola Tuhan bahwa Tuhan itu tidak pernah tidak sibuk dalam sekejap, dalam setiap hari itu ada saja yang dikerjakan Tuhan. Karena kita di tuntut untuk mengikuti pola Tuhan, maka harus menunjukkan etos kerja, giat bekerja, ada motivasi-motivasi untuk meningkatkan daya kerja kita. Kemudian mengenai Siri’ (Harga Diri) Harga diri ini adalah sesuatu yang sangat dijaga oleh agama, yaitu ada 5 (lima) faktor yang perlu dijaga : yang pertama ”Agama”, yang kedua ”Jiwa” (nyawa), yang ketiga ”Kehormatan”, yang keempat ”Keturunan”, yang kelima ”Harta”. Harga diri ini menjadi tolok ukur bagi setiap orang sebagai seorang yang mulia, harga diri ini dasarnya adalah ketaqwaan, jadi siapa yang memiliki diri ini kelak akan memiliki ketaqwaan. Jadi nilai-nilai ketaqwaan harus dipelihara karena ini merupakan harga diri kita. Keenam nilai-nilai ini sangat dijunjung tinggi oleh budaya kita” (Wawancara, 27 Agustus 2007).
Nilai-nilai dasar budaya Bugis merupakan falsafah yang sangat cocok diterapkan di Sulawesi Selatan karena pengaruh budaya yang berasal dari masyarakat harus dipahami, di sikapi ( di amalkan pada diri sendiri),
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.Dale Timpe,1988. Performance, Alih Bahasa Sofyan Cikmat, PT. Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia), Jakarta.
Ali A.M,1986. Bone Selayang Pandang,Watampone.
Fachruddin, A.E. dkk. 1986, Pappasenna To Maccae Ri Luwuq Sibawa Kajao Laliqdong Ri Bone. Dep. P dan K. Ujung Pandang.
Gibson,James L,1997,8,Organisasi Perilaku, Struktur, Proses. Binarupa Aksara, Jakarta Barat.
Hadiati,S dan Sinaga A.M,2001. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. LAN-RI,Jakarta.
Ibrahim Anwar,2003. Sulesana, Kumpulan Esai Tentang Demokrasi Dan Kearifan Lokal, LEPHAS,Makassar.
Joseph W. Eaton, 1986.Pembangunan Lembaga Dan Pembangunan Nasional. UI-Press,Jakarta
Kantor MENPAN,1991,Pedoman Pemasyarakatan Budaya Kerja. Jakarta
Koentjaraningrat, 2000, Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. PT. Gramedia, Jakarta.
Kombie,A.S,2003,Akar Kenabian Sawerigading,Parasufia,Makassar
La Side, 2006, Arung Palakka Sang Pembebas. Yayasan Baruga Nusantara,Makassar.
Manners, A. Robert Dan Kaplan D,2002, Teori Budaya. Pustaka Pelajar, Jakarta.
Marbun,BN. 2006. DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Mattulada,1995. Latoa Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. LEPHAS,Ujung Pandang.
Mattulada,1997. Kebudayaan, Kemanusiaan, dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin University Press. Makassar.
Muluk M.R.K,2006. Desenralisasi dan Pemerintahan Daerah. Bayumedia Publishing, Malang.
Ndraha Taliziduhu ,2003, Kibernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 1. Rineka Cipta Jakarta.
Ndraha Taliziduhu,2003, Kibernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 2. Rineka Cipta Jakarta.
Ndraha Taliziduhu,2003, Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta,Jakarta.
Ndraha Taliziduhu, 2005, Teori Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta,Jakarta.
Pamudji,S.1995. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Bumi Aksara, Jakarta.
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 2007. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Edisi 4. Makassar.
Rahim, A. Rahman,1985, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. LEPHAS, Ujung Pandang.
Sedarmayanti,M.2001,Sumber Daya Manusia Dan Produktivitas Kerja. Mandar Maju, Bandung.
Siagian, Sondang P,2003,Teori & Praktek Kepemimpinan. Rineka Cipta, Jakarta.
Sianipar J.P.G dan Entang H.M.2001,Teknik-Teknik Analisis Manajemen. LAN RI, Jakarta.
Suganda Daan, dkk. 2001 . Kepemimpinan Dalam Keberagaman Budaya,LAN-RI,Jakarta.
Sugiyanto dan Lukman,S,2001. Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, LAN-RI, Jakarta.
Tika Pabundu.M. 2006.Budaya Organisasi Dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, PT. Bumi Aksara,Jakarta.
Utomo Warsito,2006. Administrasi Publik Baru Indonesia. Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
B. Metodologi Penelitian
Effendi Sofian,Singarimbun Masri. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
Nazir Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta
Gulo. W. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. PT. Gramedia, Jakarta.
Moleong, J. Lexy.1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya,Bandung.
Riduwan. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Alfabeta CV. Bandung.
Riduwan. 2005. Metode & Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta CV. Bandung.
Santoso,S.2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Parametrik, PT. Elex Media Komputindo,Jakarta.
Santoso,S.2006. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 15, PT. Elex Media Komputindo,Jakarta.
Sudjana.2003. Teknik Analisis Regresi Dan Korelasi. Arsito,Bandung.
Sugiyono.2006. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta,Bandung.
Tiro Arif, M. 2002.Statistika Distribusi Bebas. Andira Publisher, Makassar.
C. Makalah/Karya Ilmiah/Tesis
Arifin Indar,2007. ”Birokrasi Pemerintahan Dan Perubahan Sosial Politik Di Kabupaten Wajo” Disertasi, (Tidak Dipublikasikan). Makassar, Universitas Hasanuddin.
Damayanthi,D.2005. Pengaruh Kompensasi, Pendidikan, Dan Senioritas Terhadap Produktivitas Kerja Di Lingkungan Dinas Kebersihan Dan Pertamanan Kota Surakarta,Tesis. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
Indra,A.D.2005. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Kredit Perorangan dan Kelompok:Studi Kasus Pada PD BPR Bank Pasar Kabupaten Karanganyar,Tesis. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
Mokhram.2003. Pengaruh Nilai-Nilai Budaya Lokal Terhadap Kinerja Aparatur Pemerintah Kecamatan Betoambari Kota Bau-Bau. Tesis. Unhas. Makassar.
Prayitno Yudo,W.2004. Budaya Kerja , Kemampuan dan Komitmen Pegawai Negeri Sipil Di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Tesis. Universitas Airlangga, Surabaya
Tang Rapi M.2007. Reso Sebagai Roh Kehidupan Manusia, Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan 1 Tahun 2007. Hotel Clarion, 22-25 Juli 2007,Makassar.
Thaha Rasyid,1996. Hubungan Antara Kualitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Dengan Kebijaksanaan Di Sulawesi Selatan Periode 1992-1997.Tesis. Unhas,Makassar.
D. Dokumen
Undang – Undang Otonomi Daerah ( UU RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Cemerlang. Jakarta.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1983 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum.
E. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Tentang Pegawai Negeri Sipil,2007,Wacana Intelektual,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
F. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah (PERDA) NOMOR 16 TAHUN 2006 Tentang Pembentukan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone.
G. Kamus
Kamisa,1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kartika, Surabaya.
Shadly H dan Echols M. John,1989, An Indonesian-English Dictionary. PT. Gramedia, Jakarta.
Yacob L dan Dahlan M. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah. Taget Press,Surabaya.
H. Http
http: Kareer.com
http://www.republika.co.id
http://www.siutao.com
“http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_kejujuran”
@nalistat.com
The Influence of Buginese culture velue toward the behavior of Bureaucracy Apparatus at the Regional Department of General Development in Bone Regency
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
P R A K A T A
Segala puji bagi Allah yang memberikan perlindungan, shalawat dan salam atas Rasulullah S.A.W, kepada sahabat dan ahlul baitnya atas berkatNya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini walau dalam berbagai keterbatasannya sebagai sebuah karya ilmiah.
Penulis tiada henti berjuang, bersabar, melangkah terus maju.
"Passokkui Resomu Musanre ri Totomu Mutajenngi Pammase". (Bulatkan tekad usahamu pasrah kepada takdir menanti karunia), suatu nilai yang memberi spirit penulis hingga terwujudnya tesis ini. Tesis ini mengkaji nilai budaya Bugis dan perilaku aparat birokrasi yang bermaksud menyumbangkan beberapa konsep nilai budaya Bugis (Lempu’, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’), yang berhubungan dengan perilaku (Disiplin, Tepat Waktu, Taat Pada Aturan dan Tanggung Jawab) aparat birokrasi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone..
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya.
Penghargaan termulia, rasa hormat, dan terima kasih tak terhingga atas bimbingan penuh kesabaran, penulis limpahkan kepada Ketua Komisi Penasihat Prof.Dr. H. Mahmud Tang, MA dan Prof.Dr. M. Kausar Bailusy, MA, Kepada Tim Penguji, Prof.Dr. H. A. Pangerang Moenta,SH, MH, Prof.Dr. Suratman, M.Si Dr. H. Rasyid Thaha,M.Si, terima kasih saran dan kritiknya yang sangat berharga bagi penulis. Kepada Civitas Akademik Universitas Hasanuddin, yang telah memberi sumbangsih, dukungan dan motivasi, penulis menghaturkan terima kasih. Terima kasih tak terhingga kepada Pemerintah Kabupaten Bone, dan seluruh informan yang telah meluangkan waktunya untuk penulis.
Ucapan terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada Drs. H. Andi Pahrum Pawi, MTP selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone.
Allah Yarham "H. Andi Bau Toappo Mappanyukki, Datu Appo, Hj. Andi Bau Tenripada Opu Datu, Hj. Andi Bau Tenri Datu Bau, Andi Pawennari Petta Sau", yang telah membimbing penulis dalam budaya Bugis kepada beliau penulis ucapkan terima kasih. Spesial terima kasih pula kepada Habaib Ir. Habib Chalid Al Idrus.
Terakhir diperuntukkan kepada kedua orang tua tercinta yang memberikan dorongan dan doa selama mengikuti pendidikan. Akhirnya segala kekurangan dan kehilafan yang ada mohon dimaafkan, semoga segala sesuatunya mendatangkan manfaat dan kemaslahatan bersama.
Makassar, 3 Nopember 2007
Abdu Samad H. A. Umar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa pemerintahan Raja Bone VII, Latenrirawe BongkangE, kerajaan Bone memiliki luas wilayah kekuasaan yang sangat kecil. Tapi berkat adanya seorang pemikir (penasehat kerajaan Bone) La Mellong To Suwalle Kajao Laliddong, maka kerajaan Bone mengalami perkembangan yang sangat pesat dan kerajaan menjadi makmur, karena La Mellong menerapkan sifat-sifat atau nilai-nilai dasar yaitu Lempu' (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso (usaha,kerja keras), Siri’ (harga diri).
Beberapa abad kemudian kerajaan Bone mengalami masa keemasan yang disebut ”WETTU TEPU KETENNA BONE” pada masa pemerintahan Raja Bone XV (1672-1696), ”Latenri Tatta To Unru’ Daeng Serang Petta MalampeE Gemme’na Petta Torisompae Sultan Saaduddin Arung Palakka Datu Mario ri Wawo, Malebbae Songko’na Arungna Mandurae MatinroE ri Bontoala” bergelar ”RAJA PALACCA DE KONING DER BOUGIES (DATU TUNGKE’NA TANA UGI).
Baginda Arung Palakka memiliki nilai-nilai luhur yaitu Lempu' (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso (usaha), Siri’ (harga diri), sehingga sampai saat ini Kabupaten Bone dikenal sebagai ”BUMI ARUNG PALAKKA”.
Demikian pula nilai Getteng dan Siri' yang dimiliki oleh Haji Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim sebagai Raja Bone XXXII baginda tidak mau bekerjasama dengan Belanda, dan atas prakarsa beliau maka kerajaan Bone bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia.
Perode lontara telah membuka babakan baru dalam hidup politik orang Bugis, terutama dalam memandang pemimpinnya dan mengendalikan kekuasaan. Pada periode itu terdapat kecenderungan bahwa rupa-rupanya orang Bugis menjunjung tinggi kedudukan manusia. Manusia mempunyai arti khusus dalam hubungannya dengan seluruh sikap makhluk. Bawaan hati yang baik, yang menentukan seseorang itu sebagai manusia ialah kejujuran, kebenaran, Siri', kepandaian, Keberanian. (Mattulada,1985:456-457).
Sumber Daya Manusia yang ada di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone, dituntut memiliki produktivitas yang tinggi dan perilaku yang sejalan dengan kode etik aparat birokrasi meskipun sebagian aparat birokrasi masih .keturunan langsung Raja Bone XVI Lapatau Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Matinroe ri Naga Uleng adalah kemenakan Arung Palakka.
Era reformasi mencatat arah menuju local democracy model sesuai semangat yang dikedepankan dalam UU Nomor 22 tahun 1999. UU tersebut telah diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang berusaha mempertemukan semangat efisiensi dan demokrasi, namun semangat local democracy model masih tampak kuat dengan dominannya pengaturan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADAL). Dengan adanya kebijakan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil sehingga aparat birokrasi dituntut untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang tertuang didalam Peraturan Pemerintah yang antara lain disiplin, tepat waktu, taat pada aturan dan tanggung jawab.
Sejalan dengan desentralisasi sebagai instrumen yang mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat yang tergolong majemuk dengan kondisi dan potensi yang beragam pula. Dalam era globalisasi dan reformasi yang terjadi saat ini telah membawa perubahan yang begitu cepat kepada aspek lingkungan dan kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi diantaranya semakin mudahnya masyarakat memperoleh informasi yang mampu meningkatkan kemampuan untuk memilih beberapa alternatif pelayanan publik yang dibutuhkan serta-merta dirasakan penting sehingga kebutuhan masyarakat akan pelayanan sudah menjadi tuntutan umum, kualitas pelayanan berbanding lurus dengan tingkat kepuasan rekanan (konsultan dan kontraktor) sehingga dapat dikatakan adanya nilai-nilai dasar budaya Bugis diharapkan dapat mendorong kualitas pelayanan yang sangat mempengaruhi tingkat kepuasan rekanan.
Dibidang sosial dan budaya, desentralisasi harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada gilirannya dapat memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Budaya organisasi merupakan sumber pengetahuan yang penting mengenai dinamika kepemimpinan transformasional dan proses-proses yang dengannya karisma seorang pemimpin dapat dilembagakan. Pengaruh seorang pemimpin terhadap budaya sebuah organisasi bervariasi, tergantung kepada tahap pengembangan organisasi tersebut. Seorang pemimpin memerlukan pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (competency) untuk memahami budaya dalam organisasi.
Semenjak diberlakukannya Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone membuat organisasi ini semakin ramping dengan adanya perubahan administrasi secara holistik.
Struktur organisasi yang ramping dalam Dinas Pekerjaan Umum semakin kompleks (peranan organisasi pada eselon IV), dilain pihak aparatur dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada swasta (rekanan) khususnya kontraktor dan konsultan.
Penyedia jasa ini turut memberikan andil yang sangat penting dalam bidang pembangunan fisik. Disisi lain pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sejak adanya kebijakan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) Nomor : 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengalami hambatan karena pola administrasinya semakin rumit dan memerlukan akuntabilitas yang handal.
Kebijakan ini membuat kepemimpinan yang ada di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone dituntut mampu mempengaruhi kinerja aparatur, baik itu kegiatan administrasi maupun kegiatan fisik di lapangan sebagai salah satu instansi teknik dalam pengelolaan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan maupun bidang keciptakaryaan dan bidang pengairan.
Kurangnya koordinasi dan informasi antar bidang membuat kinerja aparatur kurang memadai. Rendahnya kinerja aparatur pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone, tidak didukung oleh keterampilan aparatur yang sesuai dengan pendidikannya, sehingga organisasi ini berjalan di tempat.
Kurangnya informasi tentang penjelasan kebijakan baik berupa Petunjuk Pelaksanaan (JUKLAK) maupun Petunjuk Teknis (JUKNIS) menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kinerja aparatur. Dalam kondisi seperti ini, tujuan organisasi untuk menciptakan Sumber Daya Manusia aparatur secara profesional sulit terwujud. Salah satu penyebabnya adalah faktor Budaya yang masih sulit disesuaikan dengan kebijakan tersebut (tidak dijadikan landasan bagi pelaksanakan kebijakan).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Budaya Kerja
1. Pengertian Budaya
Rahim (1985) dalam bukunya ”Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis” mengatakan bahwa peranan budaya Bugis di Sulawesi Selatan dalam bentuk kedirian dan kemandiriannya, dan telah berhasil menampilkan suku Bugis sebagai orang-orang tegar menata, membina serta menambahkan pri kehidupannya, disamping suku-suku lainnya, sebagai bahagian dari bangsa Indonesia. Ungkapan budaya Bugis dipandang dapat menjadi jiwa dan moral pembangunan nasional.
Nilai-nilai utama harus dipandang sebagai nilai-nilai yang utuh dan mempunyai dua sisi, ibarat mata uang; harganya terletak pada dua sisinya. Satu dari padanya hilang tidak berhargalah ia, nilai-nilai utama (Adat) Kejujuran (Lempu’), Kecendekiaan (Acca), Kepatutan (Asitinajang), Keteguhan (Getteng), Usaha (Reso) dan Harga Diri (Siri’). Nilai-nilai tersebut bukan hanya hak kebudayaan tetapi juga kewajiban kebudayaan, baik berlakunya nilai-nilai itu di kalangan orang Bugis khususnya maupun diantara sesama makhluk insannya.
Oleh karena itu, penggalian dan telaah terhadap peninggalan budaya masa silam tetap mempunyai arti. Wujud kebudayaan Bugis yang idealnya, tersimpul dalam apa yang disebut singkeruang (sikap hidup) terjelma dalam berbagai bentuk costum yang dinyatakan dalam konsep-konsep : Lempu’, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’.
Beranjak dari pengertian di atas maka orang Bugis yang mempunyai sejarah dan masyarakatnya tetap wujud dari zaman ke zaman. Pola-pola tingkah lakunya terbentuk secara kumulatif pada zamannya yang lampau. Generasi dibelakangnya memperolehnya sebagai warisan sosial yang dipandangnya sebagai ide-ide tradisionalnya. Ide-ide tradisional ini mengandung sejumlah nilai yang mempengaruhinya ketika membuat keputusan dalam menghadapi situasi tertentu. Nilai-nilai ini merupakan warisan budaya karena dipunyai bersama dan dialihkan bersama. Ia dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya. Ia mengatur kepatutan (Asitinajang) bagi perempuan dan laki-lakinya, bagi anak-anak dan orang tuanya. Siapa yang melanggarnya akan menimbulkan penyesalan bagi dirinya di samping dia direndahkan oleh masyarakatnya bahkan juga oleh keluarganya. Nilai-nilai ini dipelihara oleh mereka sebagai memelihara suatu kehormatan diri yang paling besar yang telah dimuliakan oleh leluhurnya. Oleh karena itu ia adalah nilai-nilai kebudayaan.
Darmawan Mas’ud dalam Kombie,A.S (2003:216) mensinyalir bahwa unsur-unsur ajaran dasar Sawerigading berupa Lempu’, Tongeng, Getteng dan Adele, sama dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Sekitar abad ke-XIV sampai masuknya kekuasaan kolonial Belanda, orang Bugis di Sulawesi Selatan mempunyai kerajaan-kerajaan lokal merdeka yang terkenal, diantaranya ialah Tana-Luwu’, Tana-Bone, Tana-Wajo’, Tana-Soppeng dan Tana-Sidenreng. Kerajaan-kerajaan orang Bugis itu bersama-sama disebut Tana-Ugi’ dalam sejarahnya tak pernah mengalami keadaan sebagai satu negara yang mempersatukan sekalian suku bangsa Bugis dalam satu Pemerintahan. Hubungan persaudaraan atau persahabatan didasarkan atas kesadaran kesatuan etnis yang mereka namakan ”sempugi” selalu dijunjung tinggi (Mattulada,1995:6).
Selanjutnya Mattulada (1995:6) dalam ”Latoa” menegaskan bahwa dalam perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan itu selanjutnya, Tana-Bone dianggap sebagai kerajaan Bugis yang menjadi standard dari pola-pola kehidupan politik-ekonomi dan kebudayaan bagi kerajaan-kerajaan Bugis lainnya. Demikianlah maka sampai sekarang yang dijadikan bahasa Bugis standard, adalah bahasa Bugis To-Bone.
Nilai-nilai utama menurut Toriolo dalam Rahim (1985) bahwa, yang menentukan manusia ialah berfungsi dan berperannya sifat-sifat kemanusiaan, sehingga orang menjadi manusia, dan begitu juga nilai-nilai kebudayaan Bugis. Adapun nilai-nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhan, usaha dan harga diri, sebagai nilai-nilai utama yang akan dibahas disini, harus dilihat dari segi fungsinya. Keutamaannya secara fungsional dalam hubungannya dengan diri sendiri, dengan sesama makhluk, dengan cita-cita, dan dengan Tuhan.
Selanjutnya enam nilai-nilai utama kebudayaan Bugis dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Lempu’ = Jujur (Honesty, Credibility)
Lempu’ : dalam bahasa Indonesia artinya jujur, sama dengan lurus sebagai lawan dari bengkok. Dalam berbagai konteks kata ini berarti ikhlas, benar, baik atau adil. Sehingga lawan katanya adalah culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya, dan semacamnya. Arti ini dapat dipahami ketika ditemukan kata lempu’ dalam ungkapan-ungkapan Bugis atau lontara. Berbagai cara pula lontara menerankan kejujuran itu. Ketika Tociung, cendekiawan Luwu, diminta nasihatnya oleh calon raja (Datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng, beliau menyatakan ada empat perbuatan jujur, yaitu (a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tak curang, artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak menyerakahi yang bukan haknya; (d) dan tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya, baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.
Sejalan dengan pengertian ini Kajao Laliddong, cendekiawan Bone menjelaskan kejujuran ketika ditanya oleh Arumpone mengenai pokok-pangkal keilmuan. Apakah saksinya (sabbi) atau bukti kejujuran (lempu’) ? ’Seruan (obbi’) ya Arumpone!” Apa yang diserukan ya Kajao? ”Adapun yang diserukan adalah : Jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu; jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu, bukan juga pusakamu; jangan mengeluarkan kerbau (dari kandangnya) yang bukan kerbaumu, juga kuda yang bukan kudamu; jangan ambil kayu yang disandarkan, yang bukan engkau menyandarkannya; jangan juga kayu yang sudah ditetak ujung pangkalnya yang bukan engkau menetaknya.
Betapapun dalam kesan nilai kejujuran itu pada diri pribadi La Manussa’ To Akkarangeng. Pada waktu rakyat Soppeng mengajukan kesepakatannya untuk meminta kesediaan beliau menjadi Datu Soppeng, berkali-kali ditolaknya sambil menyatakan supaya mencari orang lain dari padanya. Ketika beliau pada akhirnya menerima, masih pun diminta tempo untuk pergi berguru, mencari bekal keilmuan bagi kepentingan pelaksanaan amanat rakyat Soppeng. Kalau sikapnya itu dikatakan berendah hati namun sikap itu lahir dari nilai kejujuran bercampur dengan keilmuan dan kepatutan. Dia tidak merasa rendah buat menyatakan kekurangannya dihadapan rakyat yang telah meyakini kelebihan dan kemampuannya. Rakyat Soppeng telah mengetahui bahwa syarat untuk seorang Datu di Soppeng telah dimiliki olehnya.
Dipihak lain Raja Bone yang di tangannya tergenggam kekuatan besar di antara para raja Bugis lainnya, bersedia menerima nasihat, sedangkan pembantunya, Kajao, tanpa ragu-ragu memberikan pula nasihatnya. Mungkinkah pula ini tidak atas dasar kejujuran? Apabila tanaman dan kerbau dapat dimisalkan sebagai sumber makanan; kuda sebagai alat buat menyelenggarakan penghidupan, apakah ini tidak menunjukkan bahwa kejujuran itu bermakna pula menghormati hak-hak bagi pemiliknya? Biarpun empunya tidak mengawal miliknya, tetapi telah diketahui bahwa sesuatu kayu sudah tersandar dan sudah terletak, iapun harus diberlakukan secara jujur sebagai tanda berlaku jujur menghormati hak yang empunya.
Dilain pihak seorang anak di Sidenreng yang melanggar nilai kejujuran harus menerima hukuman mati sebagai imbalannya. Hukuman mati itu dijatuhkan oleh si ayah sendiri sebagai hakim di negeri itu, Si ayah inilah yang bernama La Pagala Nenek Mallomo (1546-1645) yang lahir di Panrenge di sebelah utara Amparita. Jikalau orang harus merasa segan atau takut maka perasaan itu hanya patut diberikan kepada orang jujur. Memang pada mulanya kejujuran itu diatasi oleh kecurangan namun akhirnya yang menentukan kejujuran juga, ”kata La Tiringeng To Taba Arung Saotanre Raja cendekiawan Wajo di abad XV (Rahim, 185:145-152).
Demikian juga yang dapat memberikan harapan hidup yang panjang, memanjangkan usia, (Lamperi sunge’) adalah dengan mengembangkan perilaku yang memelihara kejujuran (lempu’), dengan membuktikan perbuatan yang : memaafkan orang yang bersalah padanya, tidak culas bila diberi kepercayaan, tidak serakah terhadap yang bukan haknya, dan tidak mencari kebaikan bila hanya dia yang menikmatinya (Ibrahim,2003:89).
Nilai-nilai dasar , Lempu’, Adatongeng, Getteng menjadi sumber Ammaccang (kepandaian). Nilai kejujuran mempunyai posisi sentral. Kepandaian yang tidak bersumber atau tidak disertai kejujuran, tidak akan menopang pemeliharaan ’induk kekayaan’ negara dan rakyat. Kejujuran harus diserukan, didakwahkan. Kalau sumber kepandaian adalah kejujuran, maka saksinya (sabbi) menurut Kajao Laliddong adalah perbuatan (Gau’) (Ibrahim,2003:24).
Berkata juga La Waniaga Arung Bila, terdapat empat macam permata bercahaya, yaitu ”lempu’”, kejujuran; ”adatongeng”, kata-kata benar beserta ketetapan hati; ”Siri’” beserta keteguhan pada prinsip; dan akal pikiran disertai kebaikan hati.
Adapun yang menutupi kejujuran adalah kesewenang-wenangan, yang menutupi kata-kata benar adalah kedustaan, yang menutupi ”siri” adalah ketamakan, dan yang menutupi akal-pikiran adalah kemarahan. Pada hakikatnya, apa yang dikemukakan Arung Bila merupakan penjabaran kreatif dari nilai-nilai yang telah dikemukakan Kajao Laliddong (Ibrahim,2003:88).
Acca = Kepandaian (Proficiency, Intelectual)
Acca : dalam bahasa Indonesia berarti kepandaian atau kepintaran dapat dipahami, baik dalam arti positif maupun negatif. Padahal acca bukan pandai atau pintar tetapi cendekia atau intelek, (cendekia dari Sangsekerta, kearifan dari bahasa Arab). Lontara juga menggunakan kata nawa-nawa yang berarti sama dengan acca.
Jadi orang mempunyai nilai acca atau nawanawa oleh lontara disebut Toacca, Tokenawanawa atau Pannawanawa, yang dapat diterjemahkan menjadi cendekiawan, intelektual, ahli pikir atau ahli hikmah arif. Pengertian ini masih perlu dijelaskan guna membantu kita memahami nilai kecendekiaan yang dikemukakan oleh lontara. (Rahim,1985).
Di dalam konsep nilai kecendekiaan terkandung, disamping nilai kejujuran, juga nilai kebenaran, kepatutan, keikhlasan, dan semangat penyiasatan atau penelitian. Tociung menyebutkan bahwa cendekiawan (toakenawanawa) mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Petta Matinroe ri Lariangbanngi (bangsawan tinggi Bone) menerangkan pula bahwa yang disebut pannawanawa (cendekiawan) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapinya demikian juga perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan (Rahim,1985).
2. Asitinajang = Kepatutan (Proper)
Asitinajang : dalam bahasa Indonesia Artinya Kepatutan, kepantasan, kelayakan, kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Lontara mengatakan : ”Duduki kedudukanmu, tempati tempatmu. Ade’ wari’ (adat pembedaan) pada hakikatnya mengatur agar segala sesuatu berada pada tempatnya.
Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja. Nilai kepatutan ini erat hubungannya dengan nilai kemampuan (makamaka) jasmaniah dan ruhaniah. Penyerahan atau penerimaan sesuatu, apakah itu amanat atau tugas, haruslah didasarkan atas kepatutan dan kemampuan. Makamaka lebih banyak menekankan penampilan bagi pemangku tanggung jawab.
Lataddampare Puang ri Maggalatung (cucu raja Palakka) (1498-1528) pernah berkali-kali menolak tawaran Adat dan rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo ke-3 La Patenddungi To Samallangi’ bukan karena beliau tak mampu memangku jabatan itu. Rakyat dan Adat Wajo yakin akan kebolehan beliau. Tetapi yang menjadikan beliau tidak menerima tawaran tersebut adalah nilai kepatutan dalam dugaan atau persangkaan orang terhadapnya. Pada waktu Batara Wajo ke-3 memerintah sewenang-wenang, dan tidak seorangpun berani tampil menahan, ketika itu Puang ri Maggalatung diminta bantuannya, dan memang beliau pun mampu melaksankannya. Memang wajar beliau menerimanya, sebab baik membunuh raja yang zalim maupun tawaran untuk dirajakan sama-sama kehendak adat dan rakyat Wajo. Nilai kepatutan yang berperan di dalam diri Lataddampare’ Puang ri Maggalatung, mengingatkan kita kepada penerapan petaruh yang diwariskan oleh leluhur Bugis (Rahim,1985:157-159).
Pemikiran Tociung MaccaE ri Luwu, tidak hanya berkembang dan mempedomani kehidupan sosial politik dan budaya di kerajaan Luwu, melainkan menembus ’jauh’, antara lain ke kerajaan Soppeng, dipelajari dan dikaji, terutama oleh raja dan kaum bangsawannya. Datu Soppeng La Baso’ Manussa To Akkarangeng, secara khusus melakukan perjalanan dari Soppeng berkunjung ke tempat kediaman MaccaE ri Luwu. Dalam mengemukakan pandangan-pandangannya yang disampaikan dengan cara berdialog dengan Labaso’ To Akkarangeng, MaccaE ri Luwu tampaknya lebih banyak membuat penguraian-penguraian. Sifat moralistik-religius, yang tercermin dalam pemikirannya menandai pemahaman dan pendalamannya mengenai ilmu pappejeppu, ilmu ma’rifat Bugis. MaccaE ri Luwu menjawab pertanyaan Datu Soppeng To Akkarangeng bahwa yang dapat memperluas jaringan kekerabatan dan merimbunkan pepohonan (palorong welareng, paddaung raukkaju) adalah dengan mempraktekkan perilaku yang menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya secara proporsional (Asitinajang).
Surat Al Qashash (28) ayat 26
إنﺧﻴﺭﻤﻥاستأاجرت لقوياﻻﻤﻱﻦ
Artinya: Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat di percaya.
Maksud dari ayat ini adalah tempatkanlah seseorang sesuai dengan keahliannya pada bidangnya (The right man on the right place).
3. Getteng = Keteguhan (Firm)
Getteng dalam bahasa Indonesia artinya teguh, kata inipun berarti tetap-asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Sama halnya dengan nilai kejujuran, nilai kecendekiaan dan nilai kepatutan, nilai keteguhan ini terikat pada makna yang positif. Ini dinyatakan oleh To Ciung Maccae ri Luwu bahwa empat perbuatan nilai keteguhan (a) Tak mengingkari janji, (b) tak mengkhianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah kesepakatan, dan (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung (Rahim,1985). La Tenriruwa Sultan Adam Matinrioe ri Bantaeng (kakek Latenri Tatta Arung Palakka) hanya tiga bulan menduduki takhta kerajaan Bone (1611). Beliau raja Bone (Mangkau’) pertama yang memeluk agama Islam, maka ramailah raja-raja Bugis lainnya dan diikuti oleh masing-masing rakyatnya memeluk Islam. Yang menyampaikan da’wah Islamiah ini ialah kerajaan Gowa di bawah rajanya I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papambatuna (1605-1653) beliau adalah ayahanda dari ”I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’ Pakanna” yang telah lebih dahulu menerima Islam. Raja Bone La Tenriruwa Sultan Adam menerima Islam yang disampaikan kepadanya oleh I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid.
Dalam perjanjian persahabatan negara-negara Bugis-Makassar yang masih tetap diakui bersama, antara lain ditetapkan : ”bahwa barangsiapa yang lebih dahulu menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka berjanjilah siapa-siapa yang menemukan kebajikan itu lebih dahulu supaya memberitahukannya kepada raja-raja lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar penerimaaan Raja Bone dan raja-raja Bugis lainnya. Akan tetapi setelah beliau mengumumkan keislamannya ternyata rakyat Bone menolak seruan beliau. Ini terjadi pada waktu baru saja tiga bulan beliau bertakhta. Atas penolakan ini, beliau melepaskan kedudukannya, lalu pergi ke Pattiro, di negeri mana beliau dahulu sebagai Arung yang memerintah (Arung Pattiro). Rakyat di sini pun menolak dakhwah Islamiah yang disampaikan beliau, kemudian beliau berangkat ke Tallo, Gowa; dan dari sini beliau ke Bantaeng untuk berdiam disitu. Di sinilah beliau mangkat, sehingga beliau disebut Matinroe ri Bantaeng (Rahim,1985:163).
Sedangkan untuk mengembangkan (jumlah) manusia dan membiakkan ternak (pasawe tau, pabbija olok-olok) diperlukan pemeliharaan perilaku yang menunjukkan nilai keteguhan dan ketegasan dalam prinsip yang benar (getteng), dengan bukti perbuatan : tidak mengingkari janji, tidak menghianati ikrar (komitmen) antar-kerajaan, tidak merusak ketetapan terdahulu, tidak mengubah kemufakatan, dan menyelesaikan dengan tuntas bila mengadili perkara (Ibrahim,2003:89).
4. Reso = Usaha ( Acceptable )
Reso : dalam bahasa Indonesia artinya usaha merupakan nilai kunci bagi pelaksanaan nilai-nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan dan keteguhan. Barulah nilai-nilai ini berperanan secara bertepat guna dan berdaya guna apabila didukung oleh nilai usaha. Dengan sendirinya nilai usaha inipun tegak di atas landasan nilai-nilai tersebut. Demikianlah nilai kejujuran yang berperanan di dalam diri To Akkarangeng Datu Soppeng dan La Pagala Nenek Mallomo; nilai kecendekiaan di dalam diri To Suwalle Kajao Laliddong, dan lain-lain; nilai kepatutan dalam diri La Taddampare’ Puang ri Maggalatung, dan lain-lain; dan nilai keteguhan di dalam diri beberapa mangkau’ (Arumpone), sebagaimana yang telah dikemukakan diatas.
Empat hal yang disuruh perhatikan oleh lontara bagi pengusaha atau peniaga : kejujuran karena menimbulkan kepercayaan; pergaulan, karena akan mengembangkan usaha; keilmuan, karena akan memperbaiki pengelolaan dan ketata-laksanaan; dan modal karena inilah yang ikut menggerakkan usaha (Rahim, 1985:165-166).
Nilai budaya Bugis lain yang disebut Reso (kerja keras,usaha) dilihat dari beberapa ungkapan, serta pandangan pakar menyangkut hal ini. Reso dalam bahasa Bugis biasa dipadankan dengan kata kerja atau kerja keras (usaha) dalam bahasa Indonesia.
Dalam kaitan dengan aktivitas manusia Bugis yang terkait dengan Reso sebagai manifestasi budaya dalam kehidupan manusia Bugis, sekaligus sebagai inti dari semua itu.
Reso merupakan salah satu dari enam nilai utama kebudayaan Bugis, sekaligus sebagai inti dari semua itu. Manusia Bugis memandang Reso sebagai simbol kehidupan, mungkin nilai utama lainnya bisa diabaikan tetapi kehidupan tetap berlangsung; tetapi meniadakan Reso sama artinya dengan mengabaikan kehidupan itu sendiri. Manusia Bugis pada masa lampau dapat dipandang memiliki penghargaan yang tinggi terhadap waktu dalam kaitan dengan usaha atau kerja keras (Reso). Sebagai indikasi ke arah itu sesuai catatan Lataddampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa Wajo (Cucu Arung Palakka) seperti berikut ini : ”Ee kalaki de’ga gare pallaonmu muonro ri sere lalennge? ianaritu riaseng kedo matuna, gau’ temmakketuju, de’kua de’gaga pallaonmu, laoko ri barugae mengkalinga bicara ade iarega laoko ri pasa’e mengkalinga ada pabbalu”, mapatoko sia kalaki! Nasaba’ "resopa namatinulu’ natemmanginngi’ namalomo naletei pammase dewata”.
”Hai anakku! Apakah sudah tak ada lagi pekerjaanmu, lalu kamu bermain-main saja. Itulah yang dinamakan perbuatan hina dan perbuatan yang tak ada gunanya. Jikalau tidak ada pekerjaanmu, pergilah ke balairung mendengar soal adat, ataukah engkau ke pasar mendengar warkah penjual. Rajinlah berusaha, hai anakku, sebab hanya dengan jerih payah dan ketekunan serta ketatbosanan yang dilimpahi rahmat dewata (Rahim,1985:165-168).
Pentingnya generasi muda bekerja keras mencari nafkah sebagai bekal menghadapi masa depan; tetapi kerja keras dalam mencari nafkah saja tidak cukup disamping itu harus mencari ilmu dari orang lain; baik yang berhubungan dengan pengetahuan umum (dibalairung) maupun pengetahuan praktis (di pasar). Dalam berusaha mereka dianjurkan melakukan semua itu dalam ketekunan, hanya dengan ketekunan cita-cita dapat diwujudkan (Tang R,2007:3).
Reso (usaha,kerja keras) sebagai roh dalam kehidupan manusia Bugis merupakan manifestasi dari sikap dan perilaku yang terbentuk atas pengaruh kuat dari aspek mental kebudayaannya, yang masih terpelihara dalam bentuk ungkapan. Reso telah membawa sebagian manusia Bugis meraih kehidupan gemilang sepanjang kompetisi yang dilaluinya. Dan sebagian lagi bernasib buruk seiring melemahnya etos kerja mereka, mereka kehilangan identitas kebugisannya sebagai akibat dari pemahaman keliru terhadap makna reso dalam kebudayaan.
Reso adalah sebuah keharusan untuk di jalani, namun rambu-rambu dalam perjalanan itu tidak boleh diabaikan demi menghindari bencana (Tang,R,2007:3-4).
5. Siri’ = Harga Diri (Amour Propre, Exalted)
Siri’ : dalam bahasa Indonesia artinya malu yang merupakan adat kebiasaan yang melembaga dan masih besar pengaruhnya dalam budaya kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Masalah siri selalu menarik perhatian mereka yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan Bugis. Matthes dalam (Mattulada,1995:61) dalam kamusnya, menjabarkan siri’ itu dengan malu, schande, beschaamd, schroomvalig, verlegen, schaamte dan eergevoel. Diakui beliau, bahwa penjabaran baik dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Belanda, tidak menangkap maknanya secara tepat benar (Matthes,1872 a : 583).
C.H. Salam basjah dan Sappena Mustaring dalam (Mattulada,1985) memberikan batasan atas kata siri’ dengan memberikan tiga golongan pengertian yaitu :
(1) Siri’ itu sama artinya dengan malu;
(2) Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukum menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan;
(3) Siri’ itu sebagai daya pendorong yang juga bisa ditujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu pekerjaan atau usaha.
Menurut Casutto, siri’ merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat. Demikian pula M. Nazir Said, menetapakan batasannya bahwa siri’ itu adalah perasaan malu ( krengking / beledeging ) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga/famili/verwantengroep, yang dilanggar norma adatnya (Mattulada,1995:62).
Apabila siri’ raja (pemerintah) harus dibentengi oleh rakyat, maka siri’ rakyatpun harus dihormati oleh raja. Satu terhadap lainnya harus saling memelihara dan menghormati untuk mencegah timbulnya perbuatan atau tindakan yang memalukan (Siakkasiriseng). Pengertian-pengertian siri’ yang telah dicoba diangkat dari beberapa ungkapan lontara sendiri, menunjukkan bahwa siri’ tidak lain dari suatu akibat. Bukankah baru timbul perasaan malu (siri’) jika salah satu dari nilai-nilai utama yang dianut oleh kemanusiaan dalam keadaan terlanggar. Seseorang bukan saja timbul perasaan malunya disebabkan dia diperlakukan tidak jujur, dia dipandang enteng tidak diperhitungkan, dia diberi sikap tak patut, tetapi sebaliknya perasaan malu (siri’) inipun harus timbul pada diri orang yang berbuat curang, khianat, zalim; pada diri orang yang merasa senang dalam kebodohan dan kejahilannya; pada diri orang yang tidak berbuat patut; pada diri orang yang tidak teguh memegang adat dan panngadereng, dan pada diri orang yang suka bermalas-malas menyianyiakan waktunya, sampai ditimpa kemiskinan dan kemelaratan sebab kosong dirinya dari nilai semangat usaha (Rahim,1985:174).
Matthes (dalam Mattulada,1995) menjelaskan nilai budaya Bugis lain yaitu Siri’ Menurut paseng ”utettong ri-ade’e, najagainnami siri’ku” (saya taat kepada ade’ hanya karena di jaga siri’ saya). Hakekat Siri’, hendaknya dilihat dari segi aspek nilai dari panngadereng sebagai wujud kebudayaan yang menyangkut martabat dan harga diri manusia dalam lingkungan hidup kemasyarakatan. Nilai-nilai panngadereng yang amat dijunjung tinggi orang Bugis, yang dapat membawa kepada peristiwa Siri’ dapat disimpulkan pada hal-hal yang tersebut dibawah ini :
Sangat memuliakan hal-hal yang menyangkut soal-soal kepercayaan (keagamaan);
Sangat setia memegang amanat (paseng) atau janji (ulu-ada), yang telah dibuatnya;
Sangat setia kepada persahabatan;
Sangat mudah melibatkan diri kepada persoalan orang lain;
Sangat memelihara akan ketertiban adat kawin-mawin (Wari).
Siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibat konkritnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Siri’ masih mempunyai arti yang essensial untuk dipahami, karena terdapatnya anggapan bahwa bagi orang Bugis ia masih tetap merupakan sesuatu yang lekat kepada martabat kehadirannya sebagai manusia pribadi atau sebagai warga dari suatu persekutuan. Orang Bugis menghayati Siri’ itu sebagai panggilan yang mendalam dalam diri pribadinya, untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya, mempunyai arti yang essensial, baik bagi diri maupun bagi persekutuannya.
De Vreye (1994) dalam Sugiyanto (2001:40) mengarahkan pengembangan strategis kebaikan, diperlukan aktivitas perbaikan secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan yang disebut ”service model” yaitu :
Harga Diri = Siri’ (Self-Esteen)
Pelayanan bukan berarti ”tunduk”;
Dinilai dari kepemimpinan-keteladanan;
Menempatkan seseorang menurut keahliannya;
Menetapkan tugas pelayanan yang futuris;
Berpedoman pada kesuksesan hari esok lebih baik dari hari ini.
Dari uraian diatas, maka penulis mengambil unsur-unsur nilai-nilai utama budaya Bugis yang terdiri dari : 1) Lempu’, 2) Acca, 3) Asitinajang, 4) Getteng, 5) Reso, 6) Siri’ sebagai variabel nilai budaya Bugis pada penelitian ini.
TINJAUAN LOKASI PENELITIAN
A.Keadaan Wilayah
1. Keadaan Geografi
Kabupaten Bone terletak di pesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis dengan luas wilayah 4.559 km2 atau 7,30 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dan terletak pada posisi 4° 13’ – 50° 6’ Lintang Selatan dan antara 114° 42’ - 120° 30’ Bujur Timur.
2. Batas-batas wilayah
· Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng;
· Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa;
· Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone;
· Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros, Pangkep, dan Barru.
Kabupaten Bone berjarak ±174 Km ke sebelah Timur ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar). Bergerak ke sebelah Selatan berbatasan dengan ibukota Kabupaten Sinjai yang berjarak 78 Km dan bergerak ke arah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng yang berjarak 70 Km. Kabupaten Bone terdiri dari 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 Kelurahan.
A. Kondisi Kerajaan Bone Di Masa Lalu
Kerajaan Bone didirikan oleh To ManurungE ri Matajang (MatasilompoE) pada ± (1330-1362), kemudian digantikan oleh anaknya La Ummasa Petta Panre BessiE (Petta Mulaiye Panreng) (1362-1424) sebagai Raja Bone ke-II. Putra beliau tidak dapat mewarisi pemerintahan ini karena isterinya bukan dari kalangan bangsawan, beliau mempunyai 2 (dua) orang putra bernama To Suwalle (Kajao Ciung) Tomarilaleng Pertama di kerajaan Bone dan To Salawakka (Kajao Araseng) Makkedang Tana Pertama di kerajaan Bone, bertindak sebagai juru bicara kerajaan pada masa pemerintahan sepupunya Raja Bone ke-III ”La Saliyu Kerampeluwa” yang memerintah selama 72 tahun (1424-1496). Baginda di gantikan putrinya sebagai Raja Bone ke-IV ” I Benrigau Makkaleppie Dammarowa MallajangE ri Cina (1496-1516), di saat yang sama lahirlah seorang pemikir ulung, negarawan (Bone sebagai Negara pada waktu itu) dan cerdik pandai bernama Lamellong To Suwalle Kajao Laliddong tau tongennge ri gau’na.
Menurut Kepala Desa Kajaolaliddong Yusuf, bahwa :
”Lamellong pada masa kecil suka menggembala kerbau, rumah Lamellong terletak di desa Kampubbu sekitar 1 (satu) kilometer dari dusun Laliddong, Lamellong setiap harinya berkeliaran (Makkaja) di Laliddong, sebagai tempat menggembala kerbau setiap hari ia membawa nasi dari rumahnya dan siang harinya makan nasi sebagai bekalnya dengan keong (bahasa bugis = bojo), begitulah setiap harinya ia bekerja tanpa terasa lelah dan sangat sabar. Pada suatu hari Lamellong di cari oleh utusan raja (Suro) menanyakan kepada Lamellong apakah anda mengenal nama Lamellong, kemudian Lamellong berkata ” De’ gaga lame ellonna”. Akhirnya Suro (duta) kerajaan Bone itu mengikuti Lamellong ke rumahnya sehigga mereka bercerita panjang lebar dan hari hampir gelap, Suro tersebut minta izin pamit pada Lamellong, akan tetapi jawab Lamellong ”Muni pi manu’ bunge nappa ki lisu”, akhirnya Suro bermalam dan pada tengah malam tiba-tiba ayamnya Lamellong berbunyi ”Kukkuruyuk”, itu pertanda bahwa menurut suro itu adalah waktunya untuk kembali ke kerajaan tiba saatnya, namun Lamellong katakan bahwa sebenarnya bukan itu yang dimaksud dan akhirnya utusan raja tersebut bermalam hingga beberapa hari lamanya, dan pada suatu saat ayam Lamellong yang sementara mengeram telah menetas dan inilah dinamakan ”Muni manu’ bunge”, barulah Suro itu mengerti apa yang dimaksud oleh Lamellong, kejadian ini merupakan pertanda bahwa Lamellong adalah orang yang cerdas dan cerdik merangkaikan kata-kata dan pada saat yang sama mereka berdua ke Istana Arung Pone” (Wawancara, 25 Agustus 2007).
Lamellong adalah seorang yang tidak diketahui asal usulnya sampai hari ini karena keberadaannya secara misterius, seperti ditegaskan oleh Cucu Arung Laliddong Petta Winru :
”Lamellong adalah sosok yang sangat sakti karena memiliki sifat-sifat kejujuran, kepandaian (kecendekiaan), kepatutan, keteguhan, usaha/etos kerja dan siri’ (harga diri). Ia adalah kekasih Allah (Waliyullah, tau di amasei puang Allah Taala), karena nilai dasar ini dimiliki dan diamalkan Lamellong baik itu terhadap diri sendiri, sesama manusia maupun kepada Tuhan. Ia mempunyai kelebihan yang bisa menghilang, mampu berjalan cepat meskipun perjalanannya sangat jauh, peninggalan Lamellong adalah tongkatnya dari pohon ”nyelle” yang di tancapkan pada suatu saat setelah kembali dari tanah Bone (Istana Arung Pone) menuju Laliddong, Lamellong sempat beristirahat karena letih ia berjalan dari istana, setelah beristirahat sejenak memulihkan kondisi tubuhnya, maka dengan sangat refleks Lamellong menancapkan tongkat tersebut ke tanah sambil meninggalkan tempat itu berjalan menuju Kampubbu. Pohon yang telah ditancapkan tumbuh subur sampai saat ini , konon kabarnya menurut rakyat di Desa Kajaolaliddong bahwa pohon ”Nyelle” itu merupakan obat segala penyakit yang dipercaya turun temurun. Bahkan ada yang ingin menebangnya dengan memakai senso dan buldozer tapi sampai saat ini senso dan buldozer tersebut akan macet dengan sendirinya jika niat itu ingin dilaksanakan, Lamellong meninggalkan sesuatu yang sangat berharga dan bertuah, bahkan pohon tersebut dihuni oleh elang putih. Daerah Lamelllong di mulai dari Pajekko, Bakke, padang loang hingga Katumpi. Lamellong mengatakan daerah saya dihuni oleh ”Manu’ Pute Innong kinnong” yang berarti hati yang suci (hati nurani) dan biar sedikit asalkan tanah itu miliknya itulah prinsip Lamellong sebagai orang yang senantiasa memiliki 6 (enam) nilai dasar yakni Lempu, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’ (na bolai maneng ri watakkalena). Ini setiap hari diterapkan oleh Lamellong sebagai pabbicara na Mangkau’E” makanya kerajaan Bone memperluas kerajaannya berkat jasanya Lamellong.. (Wawancara, 26 Agustus 2007).
Disisi lain Sekretaris Lembaga Adat Kabupaten Bone Petta Ile mengemukakan :
”Sejak dulu sebelum Islam memang sudah termasuk modal utama bagi suku Bugis Makassar pada khususnya yang dikatakan sebagai pappaseng, pappaseng toriolo (pesan orang tua kita) mengandung sebuah makna, ada yang dikatakan pangaja sudah ada pappaseng, pappaseng sebelum terjadi memang sudah dipesan, sedangkan pappangaja nanti sudah ada kejadian baru di nasehati, jadi berbeda antara pesan dan nasehat. Orang tua kita dulu sebelum terjadi pada masyarakatnya memang sudah dipesankan. Manusia mempunyai adat (panngadereng) sehingga ia menggunakan karya, karsa, dan usahanya sehingga dapat meningkatkan budayanya. Seperti Raja Bone bertanya kepada penasehatnya ”Kajao Laliddong” yaitu ”tega allebbirenna rupa tauE?” , maka di jawab oleh Kajao Laliddong terhadap Arung Pone bahwa allebbirenna rupa tauE adalah panngadereng. Arung Pone bertanya lagi yang mana dikatakan panngadereng Kajao?, maka jawab Kajao hanya 4 (empat) pokok utamanya, tapi setelah agama Islam masuk di Kerajaan Bone menjadi lima yaitu tau missengenngi : Ada (Ade), Bicara (keputusan peradilan), Wari (batas keturunan), Rapang (Hukum-hukum yang berlaku dari dulu sampai sekarang yang sangat baik) kemudian menjadi panngadereng. Dan setelah agama islam masuk di Kerajaan Bone (1611) yaitu Sara’ (syariat Islam). Disegi pemerintahan bahwa ”dena wedding mapparenta kodei na malampu” De to nulle mapparenta kode na macca, tidak akan berarti lempu’ dan acca apabila pemerintah tidak berani mengambil keputusan.
Jadi pemimpin itu harus berani mengambil resiko, jika tidak Lempu’ dan Accana tidak berarti apa-apa. Jadi harus jujur, magetteng pi (teguh dalam pendirian), ada tongeng (satu kata dengan perbuatan), sipakatau (saling menghormat). Yanaritu awarinengE nasibawai Siri’. Na mo Korupsi manyameng na sedding, pa degaga siri’na. Yang penting dijanji malahan dibohongi (karena tidak ada perasaan malu). Siri’ itu berada pada tiga tempatnya yaitu masiri’ ki ri aleta (diri sendiri), masiri’ ki ri padatta rupa tau (orang lain), masiriki’ na mitau tokki ri dewata seuae (Tuhan Yang Maha Esa).
Harus dipahami makna siri’, jika kita mengeluarkan kata-kata atau perbuatan yang tidak di tepati. Nilai-nilai panngadereng inilah yang harus dilestarikan adalah salah satu jalan yang terbaik. Kalau tidak digali karena nanti bernilai setelah kita amalkan. Yang jelasnya harus diterapkan pada kehidupan sehari-hari barulah nilai-nilai itu berharga.
Ungkapan ”Resopa temmanginngi namalomo naletei pammase dewata” atau ungkapan lain ” Passokku resomu usanre ri totomu utajenngi pammase”.
Toto’E sama dengan makkareso, iyaro resoe sanrei ko di pammase, makanya seluruh pekerjaan kita dipasrahkan kepa Tuhan Yang Maha Esa itulah sandaran kita. Jadi kunci panngadereng tidak akan berarti jika nilai Siri’ (Harga Diri) dan awaraningenna tau mapparentae (keberanian dari pemerintah) dan menjadi pelayan masyarakat (memperhatikan masyarakatnya) sehingga kelima aspek tersebut dapat ditegakkan, jadi begitu tingginya nilai budaya Bugis”.
Lamellong mendampingi Raja Bone ke-VI (1543-1568) ”La Uliyo Bote’E Matinroe ri Itterung” dan Raja Bone ke-VII (1568-1584) ”La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucina”. Nilai dasar yang digunakan pada masa itu diterima oleh Sara’ (syariat) pada waktu masuknya agama islam di tana-Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-XI ” La Tenri Ruwa Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng (1611-1612). Ajaran Islam sejalan dengan nilai dasar budaya Bugis yang diamalkan oleh Kajao Laliddong. Sebagaimana disampaikan oleh seorang cendekiawan, ulama, akademisi tana-Bone, Mujahid adalah sebagai berikut :
” Dalam kaitannya dengannya persoalan agama, disiplin itu dapat dilihat dari nas-nas alqur’an maupun nas-nas hadits disamping secara kontekstual, di dalam pelaksanaan ibadah ritual itu ada pembelajaran yang dimulai dengan nas yang menyebutkan tentang disiplin itu, di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada 6 (enam) hal yang lebih baik dimiliki oleh manusia : yang pertama kedisiplinan terhadap para umara itu adalah pada persoalan keadilan, yang kedua disiplin bagi ulama itu adalah wara’ yang diartikan dengan kehati-hatian, disiplin bagi orang kaya itu kedermawanan (makacua), disiplin bagi orang-orang miskin itu adalah sabar,disiplin bagi pemuda (anak muda) adalah tobat, disiplin bagi wanita itu rasa malu, penekanan-penekanan kedisiplinan disegmen masyarakat sudah di patok seperti diatas. Disiplin itu berkaitan dengan ketepatan waktu, disiplin lebih luas artinya dari ketepatan waktu. Berkaitan dengan pengamalan suatu ibadah (kerja) tidak serampangan tapi harus disiplin. Persoalan tepat waktu harus ada komitmen yang dilandasi dengan kesabaran, ada semacam keteguhan (konsistensi) dalam melaksanakan suatu tugas. Kemudian ketaatan kepada aturan baik secara norma budaya maupun norma agama, ketaatan kepada aturan cukup diperhatikan oleh agama misalnya salah diambil contoh adalah taat kepada hukum, Nabi pernah mengatakan seandainya Fatima putri Muhammad mencuri akan kupotong tangannya, beliau mensabdakan ini karena adanya sekelompok masyarakat Mekkah menghadap kepada Nabi untuk meminta semacam pengampunan terhadap seorang wanita, yang konon wanita itu adalah tokoh di masyarakat itu tapi dia mencuri, sekalipun dia mencuri maka harus dipotong tangannya, begitu ketaatan pada aturan. Inilah merupakan penekanan dari Nabi bahwa rusaknya umat terdahulu karena ketika orang-orang kuatnya mencuri dibiarkan saja, ketika orang-orang lemahnya mencuri itu dikenakan sanksi (aturan itu di jalankan). Kemudian tanggung jawab seseorang menurut agama yaitu tanggung jawab secara vertikal, tanggung jawab secara pribadi dan tanggung jawab secara sosial. Keterkaitan tanggung jawab dengan lingkungan sangat mempengaruhi seseorang dengan masyarakat disekitarnya”. (Wawancara, Tanggal 27 Agustus 2007).
Selanjutnya nilai-nilai dasar dikemukakan oleh Mujahid :
”Lempu’ atau kejujuran sangat di tekankan karena kejujuran membawa kita kepada kebaikan, orang yang tidak jujur dianggap berkhianat, sesungguhnya kebaikan itu membawa kita kesurga, sesungguhnya dusta itu membawa kita kepada kerusakan, Kemudian Acca (kepandaian) di dalam alqur’an bahwa Allah SWT mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan, Posisi orang pintar berada pada posisi ketiga setelah Allah, Malaikat kemudian orang pintar. Bahwa benar-benar orang pintar itu sangat di hargai posisinya oleh agama. Kemudian Asitinajang (Kepatutan) dalam hadits yaitu apabila suatu masalah yang diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (patut), maka akan menimbulkan kerusakan, Kemudian Getteng (keteguhan) atau kesabaran yang banyak ayat alqur’an yang berkaitan dengan kesabaran. Misalnya Tuhan minta tolong kepada kita tentang kesabaran dan shalat. Di ayat lain mengatakan siapa yang teguh (Magetteng) bersabar akan memperoleh pertolongan. Seseorang yang berhasil karena keteguhan, dan keteguhan itu menjadi modal emosional (mental) kita dalam melaksanakan suatu kegiatan. Kemudian Reso (Usaha/Etos Kerja) bahwa bekerjalah kalian niscaya Allah beserta Rasulnya menilai kerja kita. Ada seorang pakar mengatakan bahwa kita harus mengikuti pola Tuhan bahwa Tuhan itu tidak pernah tidak sibuk dalam sekejap, dalam setiap hari itu ada saja yang dikerjakan Tuhan. Karena kita di tuntut untuk mengikuti pola Tuhan, maka harus menunjukkan etos kerja, giat bekerja, ada motivasi-motivasi untuk meningkatkan daya kerja kita. Kemudian mengenai Siri’ (Harga Diri) Harga diri ini adalah sesuatu yang sangat dijaga oleh agama, yaitu ada 5 (lima) faktor yang perlu dijaga : yang pertama ”Agama”, yang kedua ”Jiwa” (nyawa), yang ketiga ”Kehormatan”, yang keempat ”Keturunan”, yang kelima ”Harta”. Harga diri ini menjadi tolok ukur bagi setiap orang sebagai seorang yang mulia, harga diri ini dasarnya adalah ketaqwaan, jadi siapa yang memiliki diri ini kelak akan memiliki ketaqwaan. Jadi nilai-nilai ketaqwaan harus dipelihara karena ini merupakan harga diri kita. Keenam nilai-nilai ini sangat dijunjung tinggi oleh budaya kita” (Wawancara, 27 Agustus 2007).
Nilai-nilai dasar budaya Bugis merupakan falsafah yang sangat cocok diterapkan di Sulawesi Selatan karena pengaruh budaya yang berasal dari masyarakat harus dipahami, di sikapi ( di amalkan pada diri sendiri),
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.Dale Timpe,1988. Performance, Alih Bahasa Sofyan Cikmat, PT. Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia), Jakarta.
Ali A.M,1986. Bone Selayang Pandang,Watampone.
Fachruddin, A.E. dkk. 1986, Pappasenna To Maccae Ri Luwuq Sibawa Kajao Laliqdong Ri Bone. Dep. P dan K. Ujung Pandang.
Gibson,James L,1997,8,Organisasi Perilaku, Struktur, Proses. Binarupa Aksara, Jakarta Barat.
Hadiati,S dan Sinaga A.M,2001. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. LAN-RI,Jakarta.
Ibrahim Anwar,2003. Sulesana, Kumpulan Esai Tentang Demokrasi Dan Kearifan Lokal, LEPHAS,Makassar.
Joseph W. Eaton, 1986.Pembangunan Lembaga Dan Pembangunan Nasional. UI-Press,Jakarta
Kantor MENPAN,1991,Pedoman Pemasyarakatan Budaya Kerja. Jakarta
Koentjaraningrat, 2000, Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. PT. Gramedia, Jakarta.
Kombie,A.S,2003,Akar Kenabian Sawerigading,Parasufia,Makassar
La Side, 2006, Arung Palakka Sang Pembebas. Yayasan Baruga Nusantara,Makassar.
Manners, A. Robert Dan Kaplan D,2002, Teori Budaya. Pustaka Pelajar, Jakarta.
Marbun,BN. 2006. DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Mattulada,1995. Latoa Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. LEPHAS,Ujung Pandang.
Mattulada,1997. Kebudayaan, Kemanusiaan, dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin University Press. Makassar.
Muluk M.R.K,2006. Desenralisasi dan Pemerintahan Daerah. Bayumedia Publishing, Malang.
Ndraha Taliziduhu ,2003, Kibernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 1. Rineka Cipta Jakarta.
Ndraha Taliziduhu,2003, Kibernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 2. Rineka Cipta Jakarta.
Ndraha Taliziduhu,2003, Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta,Jakarta.
Ndraha Taliziduhu, 2005, Teori Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta,Jakarta.
Pamudji,S.1995. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Bumi Aksara, Jakarta.
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 2007. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Edisi 4. Makassar.
Rahim, A. Rahman,1985, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. LEPHAS, Ujung Pandang.
Sedarmayanti,M.2001,Sumber Daya Manusia Dan Produktivitas Kerja. Mandar Maju, Bandung.
Siagian, Sondang P,2003,Teori & Praktek Kepemimpinan. Rineka Cipta, Jakarta.
Sianipar J.P.G dan Entang H.M.2001,Teknik-Teknik Analisis Manajemen. LAN RI, Jakarta.
Suganda Daan, dkk. 2001 . Kepemimpinan Dalam Keberagaman Budaya,LAN-RI,Jakarta.
Sugiyanto dan Lukman,S,2001. Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, LAN-RI, Jakarta.
Tika Pabundu.M. 2006.Budaya Organisasi Dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, PT. Bumi Aksara,Jakarta.
Utomo Warsito,2006. Administrasi Publik Baru Indonesia. Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
B. Metodologi Penelitian
Effendi Sofian,Singarimbun Masri. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
Nazir Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta
Gulo. W. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. PT. Gramedia, Jakarta.
Moleong, J. Lexy.1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya,Bandung.
Riduwan. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Alfabeta CV. Bandung.
Riduwan. 2005. Metode & Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta CV. Bandung.
Santoso,S.2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Parametrik, PT. Elex Media Komputindo,Jakarta.
Santoso,S.2006. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 15, PT. Elex Media Komputindo,Jakarta.
Sudjana.2003. Teknik Analisis Regresi Dan Korelasi. Arsito,Bandung.
Sugiyono.2006. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta,Bandung.
Tiro Arif, M. 2002.Statistika Distribusi Bebas. Andira Publisher, Makassar.
C. Makalah/Karya Ilmiah/Tesis
Arifin Indar,2007. ”Birokrasi Pemerintahan Dan Perubahan Sosial Politik Di Kabupaten Wajo” Disertasi, (Tidak Dipublikasikan). Makassar, Universitas Hasanuddin.
Damayanthi,D.2005. Pengaruh Kompensasi, Pendidikan, Dan Senioritas Terhadap Produktivitas Kerja Di Lingkungan Dinas Kebersihan Dan Pertamanan Kota Surakarta,Tesis. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
Indra,A.D.2005. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Kredit Perorangan dan Kelompok:Studi Kasus Pada PD BPR Bank Pasar Kabupaten Karanganyar,Tesis. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
Mokhram.2003. Pengaruh Nilai-Nilai Budaya Lokal Terhadap Kinerja Aparatur Pemerintah Kecamatan Betoambari Kota Bau-Bau. Tesis. Unhas. Makassar.
Prayitno Yudo,W.2004. Budaya Kerja , Kemampuan dan Komitmen Pegawai Negeri Sipil Di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Tesis. Universitas Airlangga, Surabaya
Tang Rapi M.2007. Reso Sebagai Roh Kehidupan Manusia, Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan 1 Tahun 2007. Hotel Clarion, 22-25 Juli 2007,Makassar.
Thaha Rasyid,1996. Hubungan Antara Kualitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Dengan Kebijaksanaan Di Sulawesi Selatan Periode 1992-1997.Tesis. Unhas,Makassar.
D. Dokumen
Undang – Undang Otonomi Daerah ( UU RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Cemerlang. Jakarta.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1983 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum.
E. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Tentang Pegawai Negeri Sipil,2007,Wacana Intelektual,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
F. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah (PERDA) NOMOR 16 TAHUN 2006 Tentang Pembentukan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone.
G. Kamus
Kamisa,1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kartika, Surabaya.
Shadly H dan Echols M. John,1989, An Indonesian-English Dictionary. PT. Gramedia, Jakarta.
Yacob L dan Dahlan M. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah. Taget Press,Surabaya.
H. Http
http: Kareer.com
http://www.republika.co.id
http://www.siutao.com
“http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_kejujuran”
@nalistat.com
Minggu, 10 Oktober 2010
Minggu, 03 Oktober 2010
ASAL USUL ARUNG MAMPU
YINA RIPAMMULASI RAMPE-RAMPE ATTORIOLONGE RI MAMPU
Aja kumabusung; Aja kumaweda-weda rampe-rampe aseng toleba, billa pilla wija tolebbi,Apapisseng paenrei riunga timu; Puang riolota ri Mampu; Masenne lila, mawampa sumpa; teppu-teppu wija tomangkau; taniya upomabusung apa utanri wijasengko’na siasennae.
Nayi ammulanna manurunge ri Mampu kowi ricappana bulue riyasenge : LAPAKKAREAWA (GUTTU TELEMMA); guttui billae, pewang tanae, pitung essoi kuwa pettakkape’ takko engka rita tau tudang dua : seuwa orowane seuwa makkunrai, orowane riyasengnge GUTTU TELEMMA, makkunrai riyasenge : WESINRALANGI; sipuanadarana moi riyaseng.
Pitumpenni muwa puranna makkuwa; makkulissi paimeng bosi, Lette, billa, riue, wewattanae ; takko engkasi tau rita tudang dua makkuwa siritu rita ri Cappana bulue; seuwa to makkunrai seuwa to orowane, sipuwana boroane matoi gare riyaseng, makkunrai riyaseng : WESENGNGENG TALAGA, orowane riyaseng LAPATURUNGI;
Nayi ritanana ri torimampue yina napogau tasiyana ada laoe sitangi napowadangi makkedae maeloko ri yala Arung, matte situru ada tomampue, engka maelo nalai riyajae engka maelo malai Arung ri laue.
Napada patettongi bola, nateya mupa siduppa akkuluadangenna.
Nayina nasituruki to Mampue, pasiyala aga mappada tiwina papuwale ota, nayina puwatta GUTTU TELEMMA pobainei puwatta GUTTU TALAGA (WESENGNGENG TALAGA) anadaranna ri lau, najajiyang ana seuwa ana orowane riyaseng ODDANG PATARA yina riyala Arung ri to Mampu, inappani makkuling ada to Mampu Puwatta Manurunge, makkedai to Mampu ana muna Puwang kayala Arung, kilaowangngi ata sipulang kiabbolanngi silellang, maupepa mapadai sukatie rudaiwi to muttawammu ridewa toi, makkedani Puwatta Manurunge, engkai muwalai tu anakku lao ri Mampu tamuperodongrodong temmalokko peroki tokkong.
Diposting : Ir. H. A. Abdu Samad H. A. Umar,M.Si
Aja kumabusung; Aja kumaweda-weda rampe-rampe aseng toleba, billa pilla wija tolebbi,Apapisseng paenrei riunga timu; Puang riolota ri Mampu; Masenne lila, mawampa sumpa; teppu-teppu wija tomangkau; taniya upomabusung apa utanri wijasengko’na siasennae.
Nayi ammulanna manurunge ri Mampu kowi ricappana bulue riyasenge : LAPAKKAREAWA (GUTTU TELEMMA); guttui billae, pewang tanae, pitung essoi kuwa pettakkape’ takko engka rita tau tudang dua : seuwa orowane seuwa makkunrai, orowane riyasengnge GUTTU TELEMMA, makkunrai riyasenge : WESINRALANGI; sipuanadarana moi riyaseng.
Pitumpenni muwa puranna makkuwa; makkulissi paimeng bosi, Lette, billa, riue, wewattanae ; takko engkasi tau rita tudang dua makkuwa siritu rita ri Cappana bulue; seuwa to makkunrai seuwa to orowane, sipuwana boroane matoi gare riyaseng, makkunrai riyaseng : WESENGNGENG TALAGA, orowane riyaseng LAPATURUNGI;
Nayi ritanana ri torimampue yina napogau tasiyana ada laoe sitangi napowadangi makkedae maeloko ri yala Arung, matte situru ada tomampue, engka maelo nalai riyajae engka maelo malai Arung ri laue.
Napada patettongi bola, nateya mupa siduppa akkuluadangenna.
Nayina nasituruki to Mampue, pasiyala aga mappada tiwina papuwale ota, nayina puwatta GUTTU TELEMMA pobainei puwatta GUTTU TALAGA (WESENGNGENG TALAGA) anadaranna ri lau, najajiyang ana seuwa ana orowane riyaseng ODDANG PATARA yina riyala Arung ri to Mampu, inappani makkuling ada to Mampu Puwatta Manurunge, makkedai to Mampu ana muna Puwang kayala Arung, kilaowangngi ata sipulang kiabbolanngi silellang, maupepa mapadai sukatie rudaiwi to muttawammu ridewa toi, makkedani Puwatta Manurunge, engkai muwalai tu anakku lao ri Mampu tamuperodongrodong temmalokko peroki tokkong.
Diposting : Ir. H. A. Abdu Samad H. A. Umar,M.Si
Rabu, 29 September 2010
Langganan:
Postingan (Atom)